BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam
kurun sejarah manusia perang melawan penyakit tuberkulosis paru (Tb-paru)
seperti tidak ada putus-putusnya. Ribuan tahun silam seperti ditunjukan oleh
tulang-tulang peninggalan masa pra sejarah di Jerman (8000 SM), Tuberkulosis
paru diketahui sudah menyerang penduduk pada zamannya. Dari fosil yang digali
dari sisa-sisa peradapan Mesir kuno, juga terdapat bukti-bukti bahwa 2,500-1000
tahun SM penyakit ini sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat. Dari berbagai
catatan dunia banyak raja-raja dan tokoh-tokoh terkenal seperti Raja Henry VII,
Goethe, Rousseau, Chopin diketahui meninggal karena penyakit Tuberkulosis Paru.
Di Indonesia situs berupa relief Candi Borobudur sudah mengenal adanya penyakit
ini, mungkin saja ada beberapa raja Indonesia yang menderita Tuberkulosis Paru,
namun belum terdapat catatan resmi tentang hal ini.
Tuberkulosis
paru menyerang sepertiga dari 1,9 miliar penduduk dunia dewasa ini. Setiap
tahun terdapat 8 juta kasus baru penderita tuberkulosis paru, dan angka
kematian tuberkulosis paru 3 juta orang setiap tahunnya. 1% dari penduduk dunia
akan terinfeksi tuberkulosis paru setiap tahun. Satu orang memiliki potensi
menularkan 10 hingga 15 orang dalam 1 tahun.
Tuberkulosis
paru merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis dan paling sering bermanifestasi di paru. Mikobakterium ini
ditransmisikan melalui droplet di udara, sehingga seorang penderita
tuberkulosis paru merupakan sumber penyebab penularan tuberkulosis paru pada
populasi di sekitarnya. Sampai saat ini penyakit tuberkulosis paru masih
menjadi masalah kesehatan yang utama, baik di dunia maupun di Indonesia. Menurut
WHO (2006) dilaporkan angka prevalensi kasus penyakit tuberkulosis paru di
Indonesia 130/100.000, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan jumlah kematian
sekitar 101.000 pertahun, angka insidensi kasus Tuberkulosis paru BTA (+)
sekitar 110/100.000 penduduk. Penyakit ini merupakan penyebab kematian urutan
ketiga, setelah penyakit jantung dan penyakit saluran pernapasan.
Sekitar
75% penderita tuberkulosis paru adalah kelompok usia produktif secara ekonomis
(15-50 tahun). Diperkirakan seorang penderita tuberkulosis paru dewasa akan
kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan, hal tersebut berakibat
pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika
meninggal akibat penyakit tuberkulosis paru, maka akan kehilangan pendapatannya
sekitar 15 tahun, selain merugikan secara ekonomis, Tuberkulosis paru juga
memberikan dampak buruk lainnya secara sosial bahkan kadang dikucilkan oleh
masyarakat.
Kerugian
yang diakibatkan oleh penyakit tuberkulosis paru bukan hanya dari aspek
kesehatan semata tetapi juga dari aspek sosial ekonomi, dengan demikian
tuberkulosis paru merupakan ancaman terhadap cita-cita pembangunan dalam
meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Karenanya perang terhadap
penyakit tuberkulosis paru berarti pula perang terhadap kemiskinan,
ketidakproduktifan dan kelemahan akibat tuberkulosis.
Munculnya
pandemi HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency
Syndrome) di dunia menambah permasalahan penyakit tuberkulosis paru,
koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian penyakit tuberkulosis
paru secara signifikan. Pada saat yang sama kekebalan ganda kuman tuberkulosis
terhadap obat anti Tuberkulosis (MDR=Multi Drug Resistance), semakin menjadi
masalah akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada
akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemik penyakit tuberkulosis paru yang
sulit ditangani. Penyebab utama meningkatnya beban masalah tuberkulosis
paru antara lain;
1. Kondisi sosial
ekonomi yang menurun pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada
negara-negara berkembang, sehingga dapat menimbulkan dampak yang buruk kepada
lingkungannya.
2. Kondisi lingkungan dalam dan luar rumah yang sangat mendukung untuk terjadinya penyakit tuberkulosis paru.
3. Belum optimalnya program tuberkulosis paru selama ini, hal ini diakibatkan oleh;
a) Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan
b) Tidak memadainya organisasi pelayanan Tuberkulosis (kurang terakses oleh masyarakat, penemuan kasus/diagnosis yang tidak standar, Obat Anti Tuberkulosis (OAT) tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang tidak standar dan sebagainya)
c) Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan panduan obat yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosa)
d) Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas vaksin BCG.
e) Infrastuktur kesehatan yang buruk pada Negara-negara yang mengalami krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat.
2. Kondisi lingkungan dalam dan luar rumah yang sangat mendukung untuk terjadinya penyakit tuberkulosis paru.
3. Belum optimalnya program tuberkulosis paru selama ini, hal ini diakibatkan oleh;
a) Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan
b) Tidak memadainya organisasi pelayanan Tuberkulosis (kurang terakses oleh masyarakat, penemuan kasus/diagnosis yang tidak standar, Obat Anti Tuberkulosis (OAT) tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang tidak standar dan sebagainya)
c) Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan panduan obat yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosa)
d) Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas vaksin BCG.
e) Infrastuktur kesehatan yang buruk pada Negara-negara yang mengalami krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat.
4. Perubahan demografik
karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur kependudukan.
5. Dampak pandemik HIV/AIDS
5. Dampak pandemik HIV/AIDS
WHO
dalam Annual Report on Global TB Control (2003) menyatakan terdapat 22
negara dikategorikan sebagai high burden countries terhadap tuberkulosis
paru, termasuk Indonesia. Pada tahun 2004 diperkirakan 2 juta orang meninggal
di seluruh dunia karena penyakit tuberkulosis paru dari total 9 juta kasus.
Karena jumlah penduduknya yang cukup besar, Indonesia menempati urutan ketiga
di dunia dalam hal penderita tuberkulosis paru setelah India dan China. Setiap
tahun angka perkiraan kasus baru berkisar antara 500 hingga 600 orang diantara
100.000 penduduk.
Di
Indonesia tahun 2004 tercatat ± 627.000 insiden tuberkulosis paru dengan ±
282.000 diantaranya positif pemeriksaan dahak. Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 2004 menunjukkan bahwa estimasi prevalensi tuberkulosis paru
berdasarkan pemeriksaan mikroskopis Bakteri Tahan Asam (BTA) positif sebesar
104 per 100.000 penduduk dengan batas bawah 66 dan batas atas 142 pada selang
kepercayaan 95%. Badan litbangkes (2003) estimasi incidence rate tuberkulosis
paru di Indonesia berdasarkan pemeriksaan (BTA) positif sebesar 128 per 100.000
penduduk. WHO (2005) estimasi incidence rate tuberkulosis paru di
Indonesia untuk semua kasus sebesar 675 per 100.000 penduduk.
Di
Jawa Tengah berdasarkan laporan evaluasi program pemberantasan penyakit menular
berdasarkan indikator nasional program pemberantasan tuberkulosis paru tahun
2005 angka kasus penderita tuberkulosis paru 17.523 penderita. Angka prevalensi
sebesar 56,95 per 100.000, dengan angka Case Detection Rate (CDR)
sebesar 56,95% penduduk. Tahun 2008 angka kasus penderita tuberkulosis paru
16.748 penderita, angka prevalensi sebesar 54.92 per 100.000 dengan angka case
detection rate 46,88%.
Kabupaten
Pekalongan dengan luas wilayah 836.13 Km³ yang terdiri dari 19 Kecamatan dan
283 desa, terbagi menjadi daerah dataran rendah dengan jumlah desa 225 (80.31
%), dan daerah pegunungan/dataran tinggi dengan jumlah desa 58 (19.69 %).
Mempunyai sarana kesehatan; 2 rumah sakit pemerintah, 1 rumah sakit swasta, 26
puskesmas. Jumlah penduduk di Kabupaten Pekalongan berdasarkan data dari kantor
Biro Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Pekalongan tahun 2005 sebesar 843.221
jiwa, tahun 2006 sebesar 886.398 jiwa, tahun 2007 sebesar 955.202 jiwa, tahun
2008 sebesar 967.246 jiwa, mempunyai masalah dengan penyakit tuberkulosis paru
dalam 5 tahun terakhir jumlah kasus penderita tuberkulosis paru semakin
menurun, begitu pula dengan angka prevalensi disetiap tahun menunjukkan tren
yang menurun pula.
Tahun
2005 angka kasus penderita tuberkulosis paru sebanyak 1.382 penderita, tahun
2006 sebanyak 1.161 penderita, tahun 2007 sebanyak 1.097 penderita, tahun 2008
sebanyak 1.052 penderita, Januari Sampai dengan bulan Juni tahun 2009 sebanyak
539 penderita. Angka Prevalensi penyakit tuberkulosis paru di Kabupaten
Pekalongan tahun 2005 sebesar 147 per 100.000 penduduk, tahun 2006 sebesar 124
per 100.000 penduduk, tahun 2007 sebesar 117 per 100.000 penduduk, tahun 2008
sebesar 108 per 100.000 penduduk.
Usaha
penanggulangan tuberkulosis paru meliputi Surveilans, deteksi dini, dan DOTS
( Directly Observed Treatment, Short-course Therapy), dimana ada 5 komponen
kunci dari DOTS yaitu; Komitmen politis, pemeriksaan dahak mikroskopis yang
terjamin mutunya, pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus
tuberkulosis dengan tata laksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung
pengobatan, jaminan ketersediaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang bermutu,
sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil
pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.
Implementasi
DOTS sebaiknya disertai dengan perencanaan di semua unit pada semua tingkat
pelayanan kesehatan yaitu puskesmas, rumah sakit, dinas kesehatan, laboratorium
dan lain-lain. Untuk perencanaan implementasi inilah dibutuhkan data lapangan
yang lengkap dan akurat melalui kegiatan surveilans.
Sistem
surveilans tuberkulosis paru di Indonesia secara nasional berada dibawah
pengawasan Direktorat Jendral P2&PL (Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan) Departemen Kesehatan. Ujung tombak surveilans tuberkulosis paru
ditingkat kabupaten/kota bergantung pada wasor (pengawas surveilans
tuberkulosis paru) yang berada di dinas kesehatan kabupaten/kota dengan bekerja
sama dengan unit pelayanan kesehatan (puskesmas, rumah sakit, BP4, laboratorium
dll). Wasor mengumpulkan dan mengolah data dan informasi surveilans
tuberkulosis paru kedalam buku register tuberkulosis paru. Di Kabupaten
Pekalongan, pencatatan kasus tuberkulosis paru mencakup; identitas penderita,
fasilitas yang memberikan pelayanan, hasil pemeriksaan dahak, klasifikasi
dahak, tanggal mulai berobat, regimen obat yang diberikan, serta status
kesembuhan.
B. GARIS BESAR KASUS
Hingga
saat ini pengolahan register tuberkulosis paru di Kabupaten Pekalongan masih
terbatas dalam bentuk analisis tabular dan grafik. Analisis sebaran kasus masih
berupa agregasi di tingkat desa dan kecamatan, tetapi bukan dalam bentuk
pemetaan. Agar dapat mengidentifikasi rantai penularan tuberkulosis paru sistem
surveilans seharusnya dapat mengidentifikasi sebaran kasus tuberkulosis paru
hingga tingkat individual tidak hanya agregat. Identifikasi lokasi penderita
tuberkulosis paru sampai tingkat lokasi individu sangat dimungkinkan karena
dalam register tuberkulosis paru terdapat alamat penderita yang dapat dipetakan
menggunakan pendekatan Geographic Information System (GIS).
Sampai
saat ini belum diketahui pola spasial yang terinci mengenai distribusi kasus
tuberkulosis paru di Kabupaten Pekalongan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
distribusi spasial terhadap kasus penyakit tuberkulosis paru di Kabupaten
Pekalongan pada bulan Januari 2009 sampai dengan Desember 2009. Gambaran
spasial kasus penyakit tuberkulosis paru diharapkan dapat mengidentifikasi
faktor-faktor risiko keruangan terhadap penyebaran penyakit tuberkulosis paru
di Kabupaten Pekalongan.
C. ALASAN TERTARIK
MEMBAHAS KASUS INI
Saya tertarik membahas kasus ini karena kasus
tuberkulosis secara umum adalah penyakit yang berbahaya yang penanganannya di
negara kita belum begitu mumpuni. Bahkan disebutkan dalam salah satu koran
elektronik bahwa penyakit ini adalah penyakit paling berbahaya nomor dua
setelah HIV/AIDS. Untuk itu, saya jadi tertarik untuk menganalisis kasus ini,
yang dalam target utama analisis saya yaitu di daerah Kabupaten Pekalongan dan
sedikit pembahasan di Bojonegoro.
BAB
II
PERMASALAHAN
PERMASALAHAN
Berdasarkan
uraian pada latar belakang diatas dapat diambil beberapa identifikasi masalah
ternyata penyakit tuberkulosis paru masih merupakan masalah kesehatan yang
serius terutama di negara berkembang, Indonesia merupakan penyumbang penyakit
tuberkulosis paru terbesar ketiga setelah India dan China. Sekitar 75%
penderita tuberkulosis paru adalah kelompok usia produktif secara ekonomis
(15-50 tahun). Diperkirakan seorang penderita tuberkulosis paru dewasa akan
kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan, hal tersebut berakibat pada
kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Tuberkulosis paru
juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial bahkan kadang dikucilkan
oleh masyarakat. Kerugian yang diakibatkan oleh penyakit tuberkulosis paru
bukan hanya dari aspek kesehatan semata tetapi juga dari aspek sosial ekonomi,
dengan demikian tuberkulosis paru merupakan ancaman terhadap cita-cita
pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh.
Karenanya
perang terhadap penyakit tuberkulosis paru berarti pula perang terhadap kemiskinan,
ketidakproduktifan dan kelemahan akibat tuberkulosis. Kondisi di Kabupaten
Pekalongan dalam 5 tahun terakhir mengalami penurunan cakupan disertai dengan
akan angka prevalensi yang mengalami penurunan juga. Namun penyakit
tuberkulosis paru tetap menjadi ancaman yang serius, apalagi bila ditunjang
oleh lingkungan rumah yang kurang memadai.
Di
Kabupaten Pekalongan, pencatatan kasus tuberkulosis paru mencakup; identitas
penderita, fasilitas yang memberikan pelayanan, hasil pemeriksaan dahak, klasifikasi
dahak, tanggal mulai berobat, regimen obat yang diberikan, serta status kesembuhan,
namun pengolahan register tuberkulosis paru masih terbatas dalam bentuk
analisis tabular dan grafik dan belum pernah dilakukan pencatatan sebaran kasus
dalam bentuk spasial. Analisis sebaran kasus masih berupa agregasi di tingkat desa
dan kecamatan, tetapi bukan dalam bentuk pemetaan.
Faktor
risiko terjadinya penyakit tuberkulosis paru di Kabupaten Pekalongan dikelompokkan
kedalam 2 kelompok faktor risiko yaitu faktor kependudukkan dan faktor
lingkungan. Faktor kependudukan meliputi ; jenis kelamin, umur, status gizi, status
imunisasi, kondisi sosial ekonomi, adapun faktor risiko lingkungan meliputi ; kepadatan
penghuni, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, suhu dan ketinggian.
Untuk mendeteksi lingkungan yang rentan penyakit dapat dilakukan dengan
menggunakan teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dan Geografic
Information System (GIS) yang merupakan suatu sistem yang mampu mengolah
, memperbaiki, memperbaharui, dan menganalisis data, khususnya data spasial
secara cepat. Dan sampai saat ini belum diketahui pola spasial yang lebih rinci
tentang penyebaran penyakit tuberkulosis paru di Kabupaten pekalongan. Dari
uraian tersebut dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apakah ada hubungan
antara karakteristik penduduk (jenis kelamin, umur, status gizi, status
imunisasi, kondisi sosial ekonomi) dengan kejadian tuberkulosis paru di
Kabupaten Pekalongan?
2. Apakah ada hubungan
antara karakteristik lingkungan (meliputi; kepadatan penghuni, lantai rumah,
ventilasi, pencahayaan, kelembaban, suhu dan ketinggian) dengan kejadian
tuberkulosis paru di Kabupaten Pekalongan?
BAB
III
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis
paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium
tuberculosis), yang menyerang terutama paru dan disebut juga tuberkulosis
paru. Bila menyerang organ selain paru (kelenjar limfe, kulit, otak, tulang,
usus, ginjal) disebut tuberkulosis ekstra paru. Mycobacterium tuberculosis berbentuk
batang, berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron, mempunyai sifat
khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut
sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman tuberkulosis cepat mati dengan sinar
matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang
gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant atau
tertidur lama dalam beberapa tahun.
1. Cara penularan
Cara
penularan tuberkulosis paru melalui percikan dahak (droplet) sumber
penularan adalah penderita tuberkulosis paru BTA(+), pada waktu penderita
tuberkulosis paru batuk atau bersin. Droplet yang mengandung kuman TB
dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam, sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam
ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat
mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh
kuman, percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang
gelap dan lembab. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam
saluran pernafasan. Setelah kuman TB masuk ke dalam tubuh manusia melalui
pernafasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh
lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau
penyebaran langsung ke bagian tubuh lainnya.
Daya
penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan
dahaknya maka makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahaknya
negatif maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Risiko penularan setiap
tahun Annual Risk Of Tuberculosis Infection (ARTI) di Indonesia
cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3%. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1%
berarti setiap tahun di antara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi,
kemudian sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita
tuberkulosis paru, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi
penderita tuberkulosis. Dari keterangan tersebut dapat diperkirakan bahwa pada
daerah dengan ARTI 1%, maka di antara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100
penderita setiap tahun, dimana 50 penderita adalah BTA positif.
Faktor
risiko yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita tuberkulosis
paru adalah karena daya tahan tubuh yang lemah, di antaranya karena gizi buruk
dan HIV/AIDS. HIVmerupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi
kuman TB menjadi sakit tuberkulosis paru. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan
luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika
terjadi infeksi penyerta (opportunistic), seperti tuberkulosis paru maka
yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian.
Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita tuberkulosis
paru akan meningkat pula, dengan demikian penularan penyakit tuberkulosis paru
di masyarakat akan meningkat pula.
2. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala
tuberkulosis paru biasanya adalah sebagai berikut ;
a. Gejala utama: batuk terus menerus dan berdahak selama tiga minggu atau lebih.
b. Gejala tambahan, yang sering dijumpai:
1. Dahak bercampur darah
2. Batuk darah
3. Sesak nafas dan rasa nyeri dada|
4. Badan lemah dan nafsu makan menurun
5. Malaise atau rasa kurang enak badan
6. Berat badan menurun
7. Berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan
8. Demam meriang lebih dari satu bulan
a. Gejala utama: batuk terus menerus dan berdahak selama tiga minggu atau lebih.
b. Gejala tambahan, yang sering dijumpai:
1. Dahak bercampur darah
2. Batuk darah
3. Sesak nafas dan rasa nyeri dada|
4. Badan lemah dan nafsu makan menurun
5. Malaise atau rasa kurang enak badan
6. Berat badan menurun
7. Berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan
8. Demam meriang lebih dari satu bulan
Gejala-gejala
tersebut dijumpai pula pada penyakit paru selain tuberkulosis. Oleh karena itu
setiap orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) dengan gejala
tersebut, harus dianggap sebagai seorang suspek tuberkulosis paru atau
tersangka penderita tuberkulosis paru, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak
secara mikroskopis langsung.
c. Gambaran Klinik
1). Gejala Sistemik
Secara
sistemik pada umumnya penderita akan mengalami demam, demam tersebut
berlangsung pada waktu sore dan malam hari, disertai dengan keluar keringat
dingin meskipun tanpa kegiatan, kemudian kadang hilang. Gejala ini akan timbul
lagi beberapa bulan seperti demam influenza biasa dan kemudian juga seolah-olah
sembuh (tidak demam lagi). Gejala lain adalah malaise (seperti perasaan
lesu) yang bersifat berkepanjangan kronik, disertai rasa tidak enak badan,
lemah dan lesu, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, badan semakin kurus,
pusing, serta mudah lelah. Gejala sistemik ini terdapat baik pada tuberkulosis
paru maupun tuberkulosis yang menyerang organ lain.
2). Gejala Respiratorik
Adapun
gejala respiratorik atau gejala saluran pernapasan adalah batuk. Batuk bisa
berlangsung terus menerus selama 3 minggu atau lebih, hal ini terjadi apabila
sudah melibatkan bronchus. Gejala respiratorik lainnya adalah batuk
produktif sebagai upaya untuk membuang ekskresi peradangan berupa dahak atau sputum,
dahak ini kadang bersifat mukoid atau purulent. Kadang gejala
respiratorik ini ditandai dengan batuk darah, hal ini disebabkan karena
pembuluh darah pecah akibat luka dalam alveoli yang sudah lanjut. Batuk
darah inilah yang sering membawa penderita ke dokter. Apabila kerusakan sudah
meluas, timbul sesak napas dan apabila pleura sudah terkena maka
disertai pula rasa nyeri dada.
3. Diagnosis
Tuberkulosis Paru
Diagnosis
tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA
Positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan
positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen hasilnya positif. Bila hanya
satu spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto
rontgen dada atau pemeriksaan dahak Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS) diulang :
a. Kalau hasil rontgen mendukung tuberkulosis paru, maka penderita di diagnosis sebagai penderita tuberkulosis paru BTA Positif.
b. Kalau hasil rontgen tidak mendukung tuberkulosis paru, maka pemeriksaan dahak ulangi dengan SPS lagi.
a. Kalau hasil rontgen mendukung tuberkulosis paru, maka penderita di diagnosis sebagai penderita tuberkulosis paru BTA Positif.
b. Kalau hasil rontgen tidak mendukung tuberkulosis paru, maka pemeriksaan dahak ulangi dengan SPS lagi.
Apabila
fasilitas memungkinkan maka dapat dilakukan pemeriksaan biakan. Bila tiga
spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misal : kotrimoksasol
atau amoksisillin) selama 1 – 2 minggu, bila tidak ada perubahan, namun gejala
klinis tetap mencurigakan tuberkulosis paru, ulangi pemeriksaan dahak SPS.
4. Penemuan Penderita
Tuberkulosis paru
Penemuan penderita
tuberkulosis paru dilakukan secara;
a. Passive promotif
case finding
yaitu penemuan penderita secara pasif dengan promotif aktif pada pengunjung (tersangka atau suspek) di unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita tuberkulosis paru.
yaitu penemuan penderita secara pasif dengan promotif aktif pada pengunjung (tersangka atau suspek) di unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita tuberkulosis paru.
b. Pemeriksaan pada
tersangka yang kontak dengan penderita
Yaitu semua orang yang kontak dengan penderita Tuberkulosis Paru dengan BTA positif dengan gejala yang sama, kemudian diperiksa dahaknya meliputi 3 spesimen dahak Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS), dilakukan selama 2 hari berturut-turut dan dahak yang terkumpul dikirim ke laboratorium.
Yaitu semua orang yang kontak dengan penderita Tuberkulosis Paru dengan BTA positif dengan gejala yang sama, kemudian diperiksa dahaknya meliputi 3 spesimen dahak Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS), dilakukan selama 2 hari berturut-turut dan dahak yang terkumpul dikirim ke laboratorium.
5. Klasifikasi Penyakit
Tuberkulosis Paru dan Tipe Penderita
Penentuan
klasifikasi penyakit dan tipe penderita tuberkulosis paru memerlukan suatu
definisi kasus yang memberikan batasan baku setiap klasifikasi dan tipe
penderita. Ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan definisi
kasus yaitu ;
a. Organ tubuh yang
sakit; paru atau ektra paru
b. Hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung; BTA positif atau BTA negatif.
c. Riwayat pengobatan sebelumnya; baru atau sudah pernah diobati
d. Tingkat keparahan penyakit; berat atau ringan.
b. Hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung; BTA positif atau BTA negatif.
c. Riwayat pengobatan sebelumnya; baru atau sudah pernah diobati
d. Tingkat keparahan penyakit; berat atau ringan.
Tujuan
dari pada klasifikasi penyakit dan tipe penderita adalah untuk menetapkan
paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang sesuai dan dilakukan sebelum
pengobatan dimulai.
5.1. Klasifikasi
Penyakit Tuberkulosis Paru
a) Tuberkulosis paru
BTA positif ;
(1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
(2) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
(1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
(2) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
b) Tuberkulosis paru
BTA negatif ;
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
c) Tuberkulosis Ekstra
Paru
Tuberkulosis
yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak,
selaput jantung, kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal,
saluran kencing, alat kelamin, dan lainlain.
5.2. Tipe Penderita Tuberkulosis
Paru
Tipe penderita
ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe
penderita yaitu :
a) Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
b) Kambuh (Relaps)
Adalah penderita tuberkulosis paru yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis paru dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
Adalah penderita tuberkulosis paru yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis paru dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
c) Pindahan (Tranfer
In)
Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain, kemudian pindah berobat ke kabupaten ini.
Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain, kemudian pindah berobat ke kabupaten ini.
d) Pengobatan setelah
lalai (Default / Drop-out )
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. umumnya penderita tersebut kembali dengan pemeriksaan dahak BTA positif.
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. umumnya penderita tersebut kembali dengan pemeriksaan dahak BTA positif.
e) Gagal
(1) Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan setelah pengobatan) atau lebih.
(1) Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan setelah pengobatan) atau lebih.
(2) Adalah penderita
dengan hasil BTA negatif rontgen positif menjadi BTA positif pada akhir bulan
ke 2 pengobatan.
f) Kasus Kronis
Adalah penderita dengan
hasil pemeriksaan sputum masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulang
kategori 2.
6. Pengobatan
Tuberkulosis Paru
Pengobatan
penderita tuberkulosis paru harus dengan panduan beberapa Obat Anti
Tuberkulosis (OAT), berkesinambungan dan dalam waktu tertentu agar mendapatkan
hasil yang optimal ( OAT dalam bentuk kombipak atau FDC (Fixed Dose Combination).
Kesembuhan yang baik akan memperlihatkan sputum BTA negatif, adanya
perbaikan radiologi dan menghilangnya gejala penyakit. Tujuan pengobatan
tuberkulosis paru dengan jangka pendek adalah untuk memutus rantai penularan
dengan menyembuhkan penderita tuberkulosis paru minimal 80% dari seluruh kasus
tuberkulosis paru BTA positif yang ditemukan, serta mencegah resistensi (
kekebalan kuman terhadap OAT).
6.1. Jenis dan Dosis
OAT
a. Isoniasid (H)
Dikenal dengan INH,
bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari
pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan
metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang . Dosis yang dianjurkan 5
mg/kg Berat
Badan (BB), sedangkan
pengobatan intermiten tiga kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg
BB.
b. Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid,
dapat membunuh kuman semi dormant (persiter) yang tidak dapat di bunuh
oleh isoniasid. Dosis 10 mg/kg BB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun
intermiten tiga kali seminggu.
c. Pirasinamid (Z)
Bersifat bakterisid,
dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian
yang dianjurkan 25 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten tiga
kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB.
d. Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid,
dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten
tiga kali seminggu digunakan dosis yang sama. Penderita berumur sampai 60
tahun dosisnya 0,75 gr/hari, sedangkan untuk umur 60 tahun atau lebih diberikan
0,50
gr/hari.
e. Etambutol (E)
Bersifat sebagai bakteriostatik,
dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten
tiga kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg BB.
7. Pencegahan Penyakit
Tuberkulosis Paru
Mencegah
lebih baik dari pada mengobati, kata-kata itu selalu menjadi acuan dalam
penanggulangan penyakit TB-Paru di masyarakat. Adapun upaya pencegahan yang
harus dilakukan adalah ;
a. Penderita tidak
menularkan kepada orang lain ;
1. Menutup mulut pada
waktu batuk dan bersin dengan sapu tangan atau tissu.
2. Tidur terpisah dari keluarga terutama pada dua minggu pertama pengobatan.
3. Tidak meludah di sembarang tempat, tetapi dalam wadah yang diberi lysol, kemudian dibuang dalam lubang dan ditimbun dalam tanah.
4. Menjemur alat tidur secara teratur pada pagi hari.
5. Membuka jendela pada pagi hari, agar rumah mendapat udara bersih dan cahaya matahari yang cukup sehingga kuman tuberkulosis paru dapat mati.
2. Tidur terpisah dari keluarga terutama pada dua minggu pertama pengobatan.
3. Tidak meludah di sembarang tempat, tetapi dalam wadah yang diberi lysol, kemudian dibuang dalam lubang dan ditimbun dalam tanah.
4. Menjemur alat tidur secara teratur pada pagi hari.
5. Membuka jendela pada pagi hari, agar rumah mendapat udara bersih dan cahaya matahari yang cukup sehingga kuman tuberkulosis paru dapat mati.
b. Masyarakat tidak
tertular dari penderita tuberkulosis paru ;
1. Meningkatkan daya
tahan tubuh, antara lain dengan makan- makanan yang bergizi
2. Tidur dan istirahat yang cukup
3. Tidak merokok dan tidak minum-minuman yang mengandung alkohol.
4. Membuka jendela dan mengusahakan sinar matahari masuk ke ruang tidur dan ruangan lainnya.
5. Imunisasi BCG pada bayi.
6. Segera periksa bila timbul batuk lebih dari tiga minggu.
7. Menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
2. Tidur dan istirahat yang cukup
3. Tidak merokok dan tidak minum-minuman yang mengandung alkohol.
4. Membuka jendela dan mengusahakan sinar matahari masuk ke ruang tidur dan ruangan lainnya.
5. Imunisasi BCG pada bayi.
6. Segera periksa bila timbul batuk lebih dari tiga minggu.
7. Menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
Tanpa pengobatan,
setelah lima tahun, 50% dari penderita Tuberkulosis Paru akan meninggal, 25%
akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi, dan 25% sebagai kasus
kronik yang tetap menular.
8. Epidemiologi
Tuberkulosis Paru
Epidemiologi
penyakit tuberkulosis paru adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara kuman
(agent) Mycobacterium tuberculosis, manusia (host) dan lingkungan
(environment). Disamping itu mencakup distribusi dari penyakit, perkembangan
dan penyebarannya, termasuk didalamnya juga mencakup prevalensi dan insidensi
penyakit tersebut yang timbul dari populasi yang tertular. Pada penyakit
tuberkulosis paru sumber infeksi adalah manusia yang mengeluarkan basil
tuberkel dari saluran pernafasan. Kontak yang rapat (misalnya dalam keluarga)
menyebabkan banyak kemungkinan penularan melalui droplet. Kerentanan penderita
tuberkulosis paru meliputi risiko memperoleh infeksi dan konsekuensi timbulnya
penyakit setelah terjadi infeksi, sehingga bagi orang dengan uji tuberkulin
negatif risiko memperoleh basil tuberkel bergantung pada kontak dengan
sumber-sumber kuman penyebab infeksi terutama dari penderita tuberkulosis
dengan BTA positif. Konsekuensi ini sebanding dengan angka infeksi aktif
penduduk, tingkat kepadatan penduduk, keadaan social ekonomi yang merugikan dan
perawatan kesehatan yang tidak memadai. Berkembangnya penyakit secara klinik
setelah infeksi dimungkinkan adannya faktor komponen genetik yang terbukti pada
hewan dan diduga terjadi pada manusia, hal ini dipengaruhi oleh umur, kekurangan
gizi dan kenyataan status immunologik serta penyakit yang menyertainya.
Epidemiologi
tuberkulosis paru mempelajari tiga proses khusus yang terjadi pada penyakit
ini, yaitu;
a. Penyebaran atau penularan
dari kuman tuberkulosis
b. Perkembangan dari kuman tuberkulosis paru yang mampu menularkan pada orang lain setelah orang tersebut terinfeksi dengan kuman Tuberkulosis.
c. Perkembangan lanjut dari kuman tuberkulosis sampai penderita sembuh atau meninggal karena penyakit ini.
b. Perkembangan dari kuman tuberkulosis paru yang mampu menularkan pada orang lain setelah orang tersebut terinfeksi dengan kuman Tuberkulosis.
c. Perkembangan lanjut dari kuman tuberkulosis sampai penderita sembuh atau meninggal karena penyakit ini.
9. Patologi Penyakit
Tuberkulosis Paru
a. Infeksi Primer
Pada
penyakit tuberkulosis paru sumber infeksi adalah manusia yang mengeluarkan
basil tuberkel dari saluran pernapasan, kontak yang rapat (misalnya dalam
keluarga) menyebabkan banyak kemungkinan penularan melalui inti droplet.
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
tuberkulosis, droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya sehingga dapat
melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan
sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat
kuman tuberkulosis paru berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di
paru, yang mengakibatkan peradangan didalam paru, saluran linfe di sekitar
hilus paru, dan ini disebut sebagai komplek primer. Waktu antara terjadinya
infeksi sampai pembentukan komplek primer adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi
dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberculin dari
negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman
yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan
perkembangan kuman tuberkulosis. Meskipun demikian ada beberapa kuman akan
menetap sebagai kuman persistent atau dormant (tidur),
kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman,
akibatnya dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi penderita tuberkulosis
paru. Masa inkubasinya yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai
menjadi sakit, diperkirakan selama 6 bulan.
b. Tuberkulosis Paru
Pasca Primer ( Post Primary Tuberculosis Paru);
Tuberkulosis
paru pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah
infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV
atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis paru pasca primer
adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi
pleura.
c. Komplikasi pada
penderita tuberkulosis paru
Komplikasi
berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut :
a. Hemoptisis berat (Perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.
b. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial
c. Bronkiektasis (Pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
d. Pneumothorak (Adanya udara di dalam rongga pleura) spontan, kolap spontan karena kerusakan jaringan.
e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal, dan sebagainya.
f. Insufisiensi Kardio Pulmoner ( Cardio Pulmonary Insufficiency).
a. Hemoptisis berat (Perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.
b. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial
c. Bronkiektasis (Pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
d. Pneumothorak (Adanya udara di dalam rongga pleura) spontan, kolap spontan karena kerusakan jaringan.
e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal, dan sebagainya.
f. Insufisiensi Kardio Pulmoner ( Cardio Pulmonary Insufficiency).
10. Faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadian penyakit Tuberkulosis Paru
Teori
John Gordon, mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit sangat dipengaruhi
oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit (agent), penjamu (host),
dan lingkungan (environment). Ketiga faktor penting ini disebut segi
tiga epidemiologi (Epidemiologi Triangle), hubungan ketiga faktor
tersebut digambarkan secara sederhana sebagai timbangan yaitu agent penyebab
penyakit pada satu sisi dan penjamu pada sisi yang lain dengan lingkungan
sebagai penumpunya. Bila agent penyebab penyakit dengan penjamu berada dalam
keadaan seimbang, maka seseorang berada dalam keadaan sehat, perubahan
keseimbangan akan menyebabkan seseorang sehat atau sakit, penurunan daya tahan
tubuh akan menyebabkan bobot agent penyebab menjadi lebih berat sehingga seseorang
menjadi sakit, demikian pula bila agent penyakit lebih banyak atau lebih ganas
sedangkan faktor penjamu tetap, maka bobot agent penyebab menjadi lebih berat.
Sebaliknya bila daya tahan tubuh seseorang baik atau meningkat maka ia dalam
keadaan sehat. Apabila faktor lingkungan berubah menjadi cenderung
menguntungkan agent penyebab penyakit, maka orang akan sakit, pada prakteknya
seseorang menjadi sakit akibat pengaruh berbagai faktor berikut :
a. Agent
Mycobacterium
tuberculosis adalah suatu anggota dari famili Mycobacteriaceae
dan termasuk dalam ordo Actinomycetalis. Mycobacterium tuberculosis
menyebabkan sejumlah penyakit berat pada manusia dan penyebab terjadinya
infeksi tersering. Masih terdapat Mycobacterium patogen lainnya,
misalnya Mycobacterium leprae, Mycobacterium paratuberkulosis dan Mycobacterium
yang dianggap sebagai Mycobacterium non tuberculosis atau tidak
dapat terklasifikasikan (Heinz, 1993).
Di
luar tubuh manusia, kuman Mycobacterium tuberculosis hidup baik pada
lingkungan yang lembab akan tetapi tidak tahan terhadap sinar matahari. Mycobacterium
tuberculosis mempunyai panjang 1-4 mikron dan lebar 0,2- 0,8 mikron. Kuman
ini melayang diudara dan disebut droplet nuclei. Kuman\ tuberkulosis
dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab, gelap tanpa sinar matahari
sampai bertahun-tahun lamanya. Tetapi kuman tuberkulosis akan mati bila terkena
sinar matahari, sabun, lisol, karbol dan panas api (Atmosukarto & Soewasti,
2000). Kuman tuberkulosis jika terkena cahaya matahari akan mati dalam waktu 2
jam, selain itu kuman tersebut akan mati oleh tinctura iodi selama 5
menit dan juga oleh ethanol 80 % dalam waktu 2 sampai 10 menit serta oleh fenol
5 % dalam waktu 24 jam. Mycobacterium tuberculosis seperti halnya
bakteri lain pada umumnya, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan
kelembaban yang tinggi. Air membentuk lebih dari 80 % volume sel bakteri dan merupakan
hal essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri. Kelembaban
udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen
termasuk tuberkulosis. Mycobacterium tuberculosis memiliki
rentang suhu yang disukai, merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam
rentang 25 – 40 C, tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31-37 C.
Pengetahuan
mengenai sifat-sifat agent sangat penting untuk pencegahan dan penanggulangan
penyakit, sifat-sifat tersebut termasuk ukuran, kemampuan berkembang biak,
kematian agent atau daya tahan terhadap pemanasan atau pendinginan.
Agent adalah penyebab yang
essensial yang harus ada, apabila penyakit timbul atau manifest, tetapi agent
sendiri tidak sufficient/memenuhi syarat untuk menimbulkan penyakit.
Agent memerlukan dukungan faktor penentu agar penyakit dapat manifest.
Agent yang mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis paru adalah kuman Mycobacterium
tuberculosis. Agent ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pathogenitas,
infektifitas dan virulensi.
Pathogenitas
adalah
daya suatu mikroorganisme untuk menimbulkan penyakit pada host. Pathogenitas
agent dapat berubah dan tidak sama derajatnya bagi berbagai host.
Berdasarkan sumber yang sama pathogenitas kuman tuberkulosis paru
termasuk pada tingkat rendah. Infektifitas adalah kemampuan suatu
mikroba untuk masuk ke dalam tubuh host dan berkembang biak didalamnya.
Berdasarkan sumber yang sama infektifitas kuman tuberkulosis paru termasuk
pada tingkat menengah. Virulensi adalah keganasan suatu mikroba bagi host.
Berdasarkan sumber yang sama virulensi kuman tuberkulosis paru
termasuk tingkat tinggi, jadi kuman ini tidak dapat dianggap remeh begitu saja.
b. Host
Manusia
merupakan reservoar untuk penularan kuman Mycobacterium tuberculosis, kuman
tuberkulosis menular melalui droplet nuclei. Seorang penderita
tuberkulosis dapat menularkan pada 10-15 orang (Depkes RI, 2002). Menurut
penelitian pusat ekologi kesehatan (1991), menunjukkan tingkat penularan
tuberkulosis di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana seorang
penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya.
Di dalam rumah dengan ventilasi baik, kuman ini dapat hilang Terbawa
angin dan akan lebih baik lagi jika ventilasi ruangannya menggunakan
pembersih udara yang bisa menangkap kuman TB. Menurut penelitian
Atmosukarto dari Litbang Kesehatan (2000), didapatkan data bahwa;
1) Tingkat penularan
tuberkulosis di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana seorang
penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya.
2) Besar resiko
terjadinya penularan untuk rumah tangga dengan penderita lebih dari 1 orang
adalah 4 kali dibanding rumah tangga dengan hanya 1 orang penderita
tuberkulosis.
Hal
yang perlu diketahui tentang host atau penjamu meliputi karakteristik;
gizi atau daya tahan tubuh, pertahanan tubuh, higiene pribadi, gejala dan tanda
penyakit dan pengobatan. Karakteristik host dapat dibedakan antara lain;
Umur, jenis kelamin, pekerjaan, keturunan, pekerjaan, keturunan, ras dan gaya
hidup. Host atau penjamu; manusia atau hewan hidup, termasuk burung dan anthropoda
yang dapat memberikan tempat tinggal atau kehidupan untuk agent menular dalam
kondisi alam (lawan dari percobaan). Host untuk kuman tuberkulosis paru adalah
manusia dan hewan, tetapi host yang dimaksud dalam penelitia ini adalah
manusia. Beberapa faktor host yang mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis
paru adalah; kekebalan tubuh (alami dan buatan), status gizi, pengaruh infeksi
HIV/AIDS.
c. Environment
Lingkungan
adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host baik benda mati, benda hidup,
nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat interaksi semua
elemen-elemen termasuk host yang lain. Lingkungan terdiri dari
lingkungan fisik dan non fisik, lingkungan fisik terdiri dari; Keadaan
geografis (dataran tinggi atau rendah, persawahan dan lain-lain), kelembaban
udara, temperatur atau suhu, lingkungan tempat tinggal. Adapun lingkungan non
fisik meliputi; sosial (pendidikkan, pekerjaan), budaya (adat, kebiasaan
turun-temurun), ekonomi (kebijakkan mikro dan lokal) dan politik (suksesi
kepemimpinan yang mempengaruhi kebijakan pencegahan dan penanggulangan suatu
penyakit).
Menurut
APHA (American Public Health Assosiation), lingkungan rumah yang sehat
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Memenuhi kebutuhan
fisiologis;
a. Suhu ruangan, yaitu
dalam pembuatan rumah harus diusahakan agar kontruksinya sedemikian rupa sehingga
suhu ruangan tidak berubah banyak dan agar kelembaban udara dapat dijaga jangan
sampai terlalu tinggi dan terlalu rendah. Untuk ini harus diusahakan agar
perbedaan suhu antara dinding, lantai, atap dan permukaan jendela tidak terlalu
banyak.
b. Harus cukup mendapatkan pencahayaan baik siang maupun malam. Suatu ruangan mendapat penerangan pagi dan siang hari yang cukup yaitu jika luas ventilasi minimal 10 % dari jumlah luas lantai.
c. Ruangan harus segar dan tidak berbau, untuk ini diperlukan ventilasi yang cukup untuk proses pergantian udara.
d. Harus cukup mempunyai isolasi suara sehingga tenang dan tidak terganggu oleh suara-suara yang berasal dari dalam maupun dari luar rumah.
e. Harus ada variasi ruangan, misalnya ruangan untuk anak-anak bermain, ruang makan, ruang tidur, dll.
f. Jumlah kamar tidur dan pengaturannya disesuaikan dengan umur dan jenis kelaminnya. Ukuran ruang tidur anak yang berumur kurang dari lima tahun minimal 4,5 m³, artinya dalam satu ruangan anak yang berumur lima tahun ke bawah diberi kebebasan menggunakan volume ruangan 4,5 m³ (1,5 x 1 x3 m³) dan diatas lima tahun menggunakan ruangan 9 m³ (3 x 1 x 3 m³)
b. Harus cukup mendapatkan pencahayaan baik siang maupun malam. Suatu ruangan mendapat penerangan pagi dan siang hari yang cukup yaitu jika luas ventilasi minimal 10 % dari jumlah luas lantai.
c. Ruangan harus segar dan tidak berbau, untuk ini diperlukan ventilasi yang cukup untuk proses pergantian udara.
d. Harus cukup mempunyai isolasi suara sehingga tenang dan tidak terganggu oleh suara-suara yang berasal dari dalam maupun dari luar rumah.
e. Harus ada variasi ruangan, misalnya ruangan untuk anak-anak bermain, ruang makan, ruang tidur, dll.
f. Jumlah kamar tidur dan pengaturannya disesuaikan dengan umur dan jenis kelaminnya. Ukuran ruang tidur anak yang berumur kurang dari lima tahun minimal 4,5 m³, artinya dalam satu ruangan anak yang berumur lima tahun ke bawah diberi kebebasan menggunakan volume ruangan 4,5 m³ (1,5 x 1 x3 m³) dan diatas lima tahun menggunakan ruangan 9 m³ (3 x 1 x 3 m³)
2. Perlindungan
terhadap penularan penyakit;
a. Harus ada sumber air yang memenuhi syarat, baik secara kualitas maupun kuantitas, sehingga selain kebutuhan untuk makan dan minum terpenuhi, juga cukup tersedia air untuk memelihara kebersihan rumah, pakaian dan penghuninya.
b. Harus ada tempat menyimpan sampah dan WC yang baik dan memenuhi syarat, juga air pembuangan harus bisa dialirkan dengan baik.|
c. Pembuangan kotoran manusia dan limbah harus memenuhi syarat kesehatan, yaitu harus dapat mencegah agar limbah tidak meresap dan mengkontaminasi permukaan sumber air bersih.
d. Tempat memasak dan tempat makan hendaknya bebas dari pencemaran dan gangguan binatang serangga dan debu.
e. Harus ada pencegahan agar vektor penyakit tidak bisa hidup dan berkembang biak di dalam rumah, jadi rumah dalam kontruksinya harus rat proof, fly fight, mosquito fight.
f. Harus ada ruangan udara (air space) yang cukup.
g. Luas kamar tidur minimal 9 m³ per orang dan tinggi langit-langit minimal 2.75 meter.
a. Harus ada sumber air yang memenuhi syarat, baik secara kualitas maupun kuantitas, sehingga selain kebutuhan untuk makan dan minum terpenuhi, juga cukup tersedia air untuk memelihara kebersihan rumah, pakaian dan penghuninya.
b. Harus ada tempat menyimpan sampah dan WC yang baik dan memenuhi syarat, juga air pembuangan harus bisa dialirkan dengan baik.|
c. Pembuangan kotoran manusia dan limbah harus memenuhi syarat kesehatan, yaitu harus dapat mencegah agar limbah tidak meresap dan mengkontaminasi permukaan sumber air bersih.
d. Tempat memasak dan tempat makan hendaknya bebas dari pencemaran dan gangguan binatang serangga dan debu.
e. Harus ada pencegahan agar vektor penyakit tidak bisa hidup dan berkembang biak di dalam rumah, jadi rumah dalam kontruksinya harus rat proof, fly fight, mosquito fight.
f. Harus ada ruangan udara (air space) yang cukup.
g. Luas kamar tidur minimal 9 m³ per orang dan tinggi langit-langit minimal 2.75 meter.
Faktor
lingkungan memegang peranan yang penting dalam penularan penyakit tuberkulosis,
terutama pada pemenuhan physiologis rumah, sebab sinar ultra violet yang
terdapat pada sinar matahari dapat membunuh kuman tuberkulosis paru, selain itu
sinar matahari juga dapat mengurangi kelembaban yang berlebihan, sehingga dapat
mencegah berkembangnya kuman tuberkulosis paru dalam rumah, oleh karenanya
suatu rumah sangat perlu adanya pencahayaan langsung yang cukup dari sinar
matahari.
11. Faktor Risiko
Tuberkulosis Paru
Faktor
risiko yaitu semua variabel yang berperan timbulnya kejadian penyakit. Pada
dasarnya berbagai faktor risiko penyakit tuberkulosis paru saling berkaitan
satu sama lainnya. Berbagai faktor risiko dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok
besar yaitu; kependudukan dan faktor lingkungan.
a. Faktor Risiko
Karakteristik Penduduk
Kejadian
penyakit tuberkulosis paru merupakan hasil interaksi antara komponen lingkungan
yakni udara yang mengandung basil tuberkulosis, dengan masyarakat serta
dipengaruhi berbagai faktor variabel yang mempengaruhinya. Variabel pada
masyarakat secara umum dikenal sebagai variabel kependudukan. Banyak variabel kependudukan
yang memiliki peran dalam timbulnya atau kejadian penyakit tuberkulosis paru,
yaitu:
1) Jenis Kelamin
Dari
catatan statistik meski tidak selamanya konsisten, mayoritas penderita
tuberkulosis paru adalah wanita, hal ini masih memerlukan penyelidikan dan
penelitian lebih lanjut, baik pada tingkat behavioural, tingkat
kejiwaan, sistem pertahanan tubuh, maupun tingkat molekuler. Untuk
sementara , diduga jenis kelamin wanita merupakan faktor risiko yang masih memerlukan
evidence pada masing-masing wilayah sebagai dasar pengendalian atau
dasar manajemen.
2) Umur
Variabel
umur berperan dalam kejadian penyakit tuberkulosis paru, risiko untuk
mendapatkan penyakit tuberkulosis paru dapat dikatakan seperti kurva normal
terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun karena diatas 2 tahun hingga
dewasa memiliki daya tangkal terhadap tuberkulosis paru dengan baik. Puncaknya
tentu dewasa muda dan menurun kembali ketika seseorang atau kelompok menjelang
usia tua (Warren,1994, Daniel dalam harison, 1991). Namun di Indonesia diperkirakan
75% penderita tuberkulosis paru adalah usia produktif yaitu 15 hingga 50 tahun.
(Depkes,2002).Kekuatan untuk melawan infeksi adalah tergantung pertahanan tubuh
dan ini sangat dipengaruhi oleh umur penderita. Pada awal kelahiran pertahanan
tubuh sangat lemah dan akan meningkatsecara perlahan sampai umur 10 tahun,
setelah masa pubertas pertahanan tubuh lebih baik dalam mencegah penyebaran
infeksi melalui darah, tetapi lemah dalam mencegah penyebaran infeksi di paru.
Tingkat umur penderita dapat mempengaruhi kerja efek obat, karena metabolisme
obat dan fungsi organ tubuh kurang efisien pada bayi yang sangat mudah dan pada
orang tua, sehingga dapat menimbulkan efek yang lebih kuat dan panjang pada kedua
kelompok umur ini (Crofton, 2002).
3) Status Gizi
Status
gizi merupakan variabel yang sangat berperan dalam timbulnya kejadian
tuberkulosis paru, tentu saja hal ini masih tergantung variabel lain yang utama
yaitu ada tidaknya kuman tuberkulosis pada paru. Seperti diketahui kuman
tuberkulosis merupakan kuman yang suka tidur hingga bertahun-tahun, apabila memiliki
kesempatan untuk bangun dan menimbulkan penyakit maka timbulah kejadian
penyakit tuberkulosis paru. Oleh karena itu salah satu kekuatan daya tangkal
adalah status gizi yang baik, baik pada wanita, laki-laki, anak-anak maupun
dewasa. Status gizi yang buruk merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kejadian tuberkulosis paru, kekurangan kalori dan protein serta kekurangan zat
besi dapat meningkatkan risiko terkena tuberkulosis paru, cara pengukurannya
adalah dengan membandingkan berat badan dan tinggi badan atau Indek Masa Tubuh
(IMT). IMT merupakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang
dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan,
maka mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia
harapan hidup lebih panjang. Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa
berumur diatas 18 tahun, IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja,
ibu hamil dan olah ragawan, disamping itu pula IMT tidak bisa diterapkan pada
keadaan khusus (penyakit) lainnya seperti edema, asites dan hepatomegali
4) Kondisi Sosial
Ekonomi
WHO
(2003) menyebutkan 90% penderita tuberkulosis paru di dunia menyerang kelompok
dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Hubungan antara kemiskinan dengan
penyakit tubekulosis bersifat timbal balik, tuberkulosis merupakan penyebab
kemiskinan dan karena miskin maka manusia menderita tuberkulosis. Kondisi
sosial ekonomi itu sendiri, mungkin tidak hanya berhubungan secara langsung,
namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi memburuk,
serta perumahan yang tidak sehat, dan akses terhadap pelayanan kesehatan juga
menurun kemampuannya. Menurut perhitungan rata-rata penderita tuberkulosis
kehilangan 3 sampai 4 bulan waktu kerja dalam setahun, dan juga kehilangan penghasilan
setahun secara total mencapai 30% dari pendapatan rumah tangga. Tingkat
pendidikan dan jenis pekerjaan sangat mempengaruhi terjadinya kasus
tuberkulosis paru atau keberhasilan pengobatan, status sosial ekonomi keluarga
diukur dari jenis, keadaan rumah, kepadatan penghuni per kamar, status pekerjaan
dan harta kepemilikan (Schoeman,1991). Masyarakat dengan sosial ekonomi yang
rendah sering mengalami kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, sehingga
penyakit tuberkulosis paru menjadi ancaman bagi mereka (Soewasti,1997).
Penyebab terbesar menurunya kasus tuberkulosis paru adalah meningkatnya tingkat
sosial ekonomi keluarga tetapi faktor lain akibat sosial ekonomi adalah
pengaruh lingkungan rumah secara fisik baik pada ventilasi, pencahayaan, kepadatan
rumah dan pemenuhan gizi (Smith,1994).
b. Faktor Risiko
Lingkungan
1) Kepadatan Penghuni
Rumah
Kepadatan
penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah anggota
keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh
perumahan biasa dinyatakan dalam m² per orang. Luas minimum per orang sangat
relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk
perumahan sederhana, minimum 9 m²/orang. Untuk kamar tidur diperlukan minimum 3
m² per orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk
suami istri dan anak dibawah dua tahun. Apabila ada anggota keluarga yang
menjadi penderita penyakit tuberkulosis sebaiknya tidak tidur dengan anggota
keluarga lainnya. Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan menggunakan ketentuan
standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat kesehatan
diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni ≥
9 m² per orang dan kepadatan penghuni tidak
memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi antara luas lantai dengan
jumlah penghuni < 9 m² per orang (Lubis, 1989). Kepadatan penghuni dalam satu
rumah tinggal akan memberikan pengaruh bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak
sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan berjubelan (overcrowded).
Hal ini tidak sehat karena disamping menyebabakan kurangnya konsumsi oksigen,
juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, terutama
tuberkulosis akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain, dimana
seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya
Kepadatan
merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit, semakin padat
maka perpindahan penyakit khususnya penyakit melalui udara akan semakin mudah
dan cepat. Oleh sebab itu kepadatan hunian dalam rumah tempat tinggal merupakan
variabel yang berperan dalam kejadian tuberkulosis. Untuk itu Departemen
Kesehatan telah membuat peraturan tentang rumah sehat dengan rumus jumlah penghuni/
luas bangunan. Syarat rumah dianggap sehat adalah 9 m2 per orang (Depkes 2003),
jarak antara tempat tidur satu dan lainnya adalah 90 cm, kamar tidur sebaiknya
tidak dihuni 2 orang atau lebih kecuali anak dibawah 2 tahun. Sebuah penelitian
di Ciampea menunjukkan bahwa risiko untuk terkena penyakit tuberkulosis 1,3
kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang kurang memenuhi persyaratan
kesehatan (Supriyono, 2003).
2) Lantai Rumah
Secara
hipotesis jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian
tuberkulosis, melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung
menimbulkan kelembaban, dengan demikian viabilitas kuman tuberkulosis di lingkungan
juga sangat dipengaruhi. Lantai merupakan dinding penutup ruangan bagian bawah,
konstruksi lantai rumah harus rapat air dan selalu kering agar mudah dibersihkan
dari kotoran dan debu, selain itu dapat menghindari naiknya tanah yang dapat
menyebabkan meningkatnya kelembaban dalam ruangan. Untuk mencegah masuknya air
ke dalam rumah, maka lantai rumah sebaiknya dinaikkan 20 cm dari permukaan
tanah. Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari bahan yang kedap terhadap air
sehingga lantai tidak menjadi lembab dan selalu basah seperti tegel, semen,
keramik.
Lantai
yang tidak memenuhi syarat dapat dijadikan tempat hidup dan perkembangbiakan
kuman dan vektor penyakit, menjadikan udara dalam ruangan lembab, pada musim
panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan debu yang berbahaya bagi
penghuninya. Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari bahan yang kedap terhadap
air seperti tegel, semen atau keramik.
3) Ventilasi
Ventilasi
adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang menyenangkan dan menyehatkan
manusia. Berdasarkan kejadiannya, maka ventilasi dapat dibagi ke dalam dua
jenis, yaitu:
(a) Ventilasi alam.
Ventilasi alam
berdasarkan pada tiga kekuatan, yaitu: daya difusi dari gas-gas, gerakan angin
dan gerakan massa di udara karena perubahan temperatur. Ventilasi alam ini
mengandalkan pergerakan udara bebas (angin), temperatur udara dan
kelembabannya. Selain melalui jendela, pintu dan lubang angin, maka ventilasi
pun dapat diperoleh dari pergerakan udara sebagai hasil sifat porous dinding
ruangan, atap dan lantai.
(b) Ventilasi buatan
Pada
suatu waktu, diperlukan juga ventilasi buatan dengan menggunakan alat mekanis
maupun elektrik. Alat-alat tersebut diantarana adalah kipas angin, exhauster
dan AC (air conditioner). Persyaratan ventilasi yang baik adalah
sebagai berikut:
Luas lubang ventilasi tetap minimal 5 % dari luas lantai ruangan, sedangkan
luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimal 5 % dari
luas lantai. Jumlah keduanya menjadi 10% dari luas lantai ruangan.
Udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap dari sampah atau pabrik,
knalpot kendaraan, debu dan lain-lain.
Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan menempatkan lubang
ventilasi berhadapan antar dua dinding. Aliran udara ini jangan sampai
terhalang oleh barang-barang besar, misalnya lemari, dinding, sekat dan
lain-lain.
Secara
umum, penilaian ventilasi rumah dengan cara membandingkan antara luas ventilasi
dan luas lantai rumah, dengan menggunakan Role meter. Menurut indikator pengawaan
rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah ≥10%
luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan
adalah < 10% luas lantai rumah (Depkes RI, 1989). Rumah dengan luas ventilasi
yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya,
salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga aliran udara di dalam rumah tersebut
tetap segar. Luas ventilasi rumah yang < 10 % dari luas lantai (tidak memenuhi
syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen dan
bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya.
Disamping itu, tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban
ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan.
Kelembaban
ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembang
biaknya bakteri-bakteri patogen termasuk kuman tuberkulosis. Selain itu, fungsi
kedua ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama
bakteri patogen seperti tuberkulosis, karena di situ selalu terjadi aliran
udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir (Notoatmodjo,
2003). Selain itu, luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan
mengakibatkan terhalangngya proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari
yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman tuberkulosis yang ada di dalam rumah
tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan.
Ventilasi
bermanfaat bagi sirkulasi pergantian udara dalam rumah serta mengurangi
kelembaban, keringat manusia juga dikenal mempengaruhi kelembaban. Semakin
banyak manusia dalam satu ruangan kelembaban semakin tinggi khususnya karena
uap air baik dari pernapasan maupun keringat. Kelembaban dalam ruang tertutup
dimana banyak terdapat manusia di dalamnya lebih tinggi dibanding kelembaban di
luar ruang. Ventilasi mempengaruhi proses dilusi udara juga dengan kata lain mengencerkan
konsentrasi kuman tuberkulosis dan kuman lain terbawa keluar dan mati terkena
sinar ultra violet. Ventilasi juga dapat merupakan tempat untuk memasukkan
cahaya ultra violet, hal ini akan semakin baik apabila konstruksi rumah menggunakan
genteng kaca, maka hal ini merupakan kombinasi yang baik. Menurut persyaratan
ventilasi yang baik adalah 10% dari luas lantai (Kepmenkes, 1999;Depkes 2003) Supriyono
(2003) di Ciampea menghitung risiko untuk terkena tuberkulosis 5,2 kali pada
penghuni yang memiliki ventilasi buruk dibanding penduduk berventilasi memenuhi
syarat kesehatan. Meski secara skeptical bisa saja terdapat bias karena
sebab lain misalnya kemiskinan, ventilasi secara teoritis bermanfaat untuk
sirkulasi udara dan pengenceran kuman.
4) Pencahayaan
Rumah
sehat memerlukan cahaya yang cukup khususnya cahaya alam berupa cahaya matahari
yang berisi antara lain ultra violet. Cahaya matahari minimal masuk 60 lux dengan
syarat tidak menyilaukan. Pencahayaan rumah yang tidak memenuhi syarat berisiko
2,5 kali terkena tuberkulosis disbanding penghuni yang memenuhi persyaratan di
Jakarta Timur (Pertiwi, 2004). Semua cahaya pada dasarnya dapat mematikan, namun
tentu tergantung jenis dan lama cahaya tersebut. Pencahayaan alami ruangan
rumah adalah penerangan yang bersumber dari sinar matahari (alami), yaitu semua
jalan yang memungkinkan untuk masuknya cahaya matahari alamiah, misalnya melalui
jendela atau genting kaca (Notoatmodjo, 2003). Cahaya berdasarkan sumbernya
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
a) Cahaya Alamiah
Cahaya alamiah yakni
matahari. Cahaya ini sangat penting, karena dapat membunuh bakteri-bakteri
patogen di dalam rumah, misalnya kuman TBC, oleh karena itu, rumah yang cukup
sehat seyogyanya harus mempunyai jalan masuk yang cukup (jendela), luasnya
sekurang-kurangnya 15 % - 20 %. Perlu diperhatikan agar sinar matahari dapat
langsung ke dalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela
disini selain sebagai ventilasi, juga sebagai jalan masuk cahaya. Selain itu
jalan masuknya cahaya alamiah juga diusahakan dengan genteng kaca.
b) Cahaya Buatan
Cahaya buatan yaitu
cahaya yang menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti lampu minyak
tanah, listrik, api dan lain lain. Kualitas dari cahaya buatan tergantung dari
terangnya sumber cahaya (brightness of the source). Pencahayaan buatan
bisa terjadi dengan 3 cara, yaitu direct, indirect, semi direct atau
general diffusing. Secara umum pengukuran pencahayaan terhadap sinar
matahari adalah dengan menggunakan lux meter, yang diukur
ditengah-tengah ruangan, pada tempat setinggi < 84 cm dari lantai, dengan
ketentuan tidak memenuhi syarat kesehatan bila < 50 lux atau > 300 lux,
dan memenuhi syarat kesehatan bila pencahayaan rumah antara 50-300 lux. Cahaya
matahari mempunyai sifat membunuh bakteri, terutama kuman mycobacterium
tuberculosis. Kuman tuberkulosa hanya dapat mati oleh sinar matahari
langsung.(Depkes RI,2002) Oleh sebab itu, rumah dengan standar pencahayaan yang
buruk sangat berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis. Kuman tuberculosis
dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab dan gelap tanpa sinar
matahari sampai bertahun-tahun lamanua, dan mati bila terkena sinar matahari, sabun,
lisol, karbol dan panas api, kuman mycobacterium tuberculosa akan mati
dalam waktu 2 jam oleh sinar matahari; oleh tinctura iodii selama 5
menit dan juga oleh ethanol 80% dalam waktu 2-10 menit serta mati oleh fenol 5%
dalam waktu 24 jam, rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai resiko
menderita tuberkulosis 3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar
matahari.
5) Kelembaban
Kelembaban
udara adalah prosentase jumlah kandungan air dalam udara. Kelembaban terdiri
dari 2 jenis, yaitu 1) Kelembaban absolut, yaitu berat uap air per unit volume
udara; 2) Kelembaban nisbi (relatif), yaitu banyaknya uap air dalam udara pada
suatu temperatur terhadap banyaknya uap air pada saat udara jenuh dengan uap
air pada temperatur tersebut. Secara umum penilaian kelembaban dalam rumah
dengan menggunakan hygrometer. Menurut indikator pengawasan perumahan, kelembaban
udara yang memenuhi syarat kesehatan dalam rumah adalah 40-70 % dan kelembaban
udara yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 40 % atau > 70 %
(Depkes RI, 1989). Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat kesehatan
akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Rumah yang lembab merupakan media yang
baik bagi pertumbuhan mikroorganisme, antara lain bakteri, spiroket, ricketsia
dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara.
Selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung
menjadi kering sehingga kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme. Bakteri
mycobacterium tuberculosis seperti halnya bakteri lain, akan tumbuh dengan
subur pada lingkungan dengan kelembaban tinggi karena air membentuk lebih dari
80 % volume sel bakteri dan merupakan hal yang essensial untuk pertumbuhan dan
kelangsungan hidup sel bakteri (Gould & Brooker, 2003). Selain itu kelembaban
udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen
termasuk bakteri tuberkulosis. Mulyadi (2003) meneliti di Kota Bogor, penghuni
rumah yang mempunyai kelembaban ruang keluarga lebih besar dari 70% berisiko terkena
penyakit tuberkulosis 10,7 kali dibanding penduduk yang tinggal pada perumahan
yang memiliki kelembaban lebih kecil atau sama dengan 70%. Kelembaban merupakan
sarana yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme, termasuk kuman tuberkulosis
sehingga viabilitas lebih lama. Seperti telah dikemukakan, kelembaban
berhubungan dengan kepadatan dan ventilasi. Topografi menurut penelitian juga
berpengaruh terhadap kelembaban, wilayah yang lebuh tinggi cenderung memiliki kelembaban
lebih rendah.
6) Ketinggian
Ketinggian
secara umum mempengaruhi kelembaban dan suhu lingkungan. Setiap kenaikan 100 meter,
selisih suhu udara dengan permukaan laut sebesar 0,5 oC. ketinggian berkaitan
dengan kelembaban juga dengan kerapatan oksigen. Kuman mycobacterium
tuberculosis sangat aerob, sehingga diperkirakan kerapatan oksigen di
pegunungan akan mempengaruhi viabilitas kuman tuberkulosis, (Olander. 2003).
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Ada hubungan antara karakteristik lingkungan fisik rumah (kepadatan
penghuni, ventilasi,jendela, kelembaban, suhu, pencahayaan, jenis lantai rumah)
dengan kejadian tuberkulosis paru di Kabupaten Pekalongan. Juga ada hubungan
antara karakteristik kependudukan (jenis kelamin, umur, status gizi, status
imunisasi, kondisi sosial ekonomi) dengan kejadian tuberkulosis paru di
Kabupaten Pekalongan.
B. SARAN
Kepada pemerintah dimohon menanggapi serius berbagai kasus tuberkulosis
di daerah terkena dengan sebaik-baiknya, dan seluruh masyarakat Indonesia agar
senantiasa menjalankan PHBS atau perilaku hidup bersih dan sehat agar
senantiasa terhindar dari berbagai macam penyakit secara umum dan tuberkulosis
secara khusus.
Lampiran:
Penderita TBC di Bojonegoro Meningkat
Minggu, 27 Maret 2011 23:01 wib
Ilustrasi penderita TBC menunggu di rumah sakit di Makassar, Sulsel.
(Foto: Reuters)
BOJONEGORO - Penyebaran
penyakit tuberkulosis (TBC) perlu diwaspadai. TBC berawal dari kuman dan cepat
menyebar kepada siapa saja yang kondisinya tidak sehat.
Dalam sehari, pasien TBC yang masuk instalasi rawat jalan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Sosodoro Djatikoesoemo, Bojonegoro, mencapai 40 sampai 60 pasien.
“Dari jumlah itu, pasien TBC yang menjalani rawat inap sekitar empat sampai delapan orang,” ujar dr Budi Sutedja, dokter spesialis TBC di RSUD dr Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro.
Budi menuturkan, penyakit TBC ini bahaya tetapi tidak termasuk penyakit yang mematikan. Bahayanya, penyakit ini cepat dan mudah menular. Serta termasuk penyakit dalam yang menyerang paru-paru dan tulang. “Orang yang terkena TBC ini juga rawan terjangkit HIV,” ujarnya.
Meski begitu, penyakit yang berawal dari kuman ini dapat disembuhkan. Meski pasien harus komitmen mengikuti petunjuk dokter. Penderita TBC dapat sembuh bila berobat secara rutin baik rawat inap maupun rawat jalan sampai 6 bulan.
Dalam rentang 6 bulan itu, penderita harus tetap berobat meskipun mulai membaik. “Banyak yang tidak sembuh, karena berhenti di tengah jalan saat berobat,” ujar Budi seraya menambahkan sekira 98 persen penderita TBC bisa sembuh kalau berobat rutin hingga enam bulan tersebut.
TBC bermula dari kuman yang berasal dari dahak. Selanjutnya kuman menyerang seseorang yang memiliki kondisi kurang sehat.
Kendati tidak dapat merinci, penderita TBC di Bojonegoro bervariasi. Sejak 2009 sampai 2011, Budi mengaku penderita TBC terus naik, terutama 3 bulan di 2011 ini.
Sementara itu Humas RSUD dr Sosodoro Djatikoesoemo, Thomas Djaja mengungkapkan, pihaknya kekurangan dokter spesialis paru-paru. Saat ini hanya Budi Sutedja satu-satunya dokter di RSUD. “Padahal seharusnya RSUD tipe B setidaknya memiliki dua dokter spesialis paru,” tandasnya.
(Muhammad Roqib/Koran SI/ton)
Dalam sehari, pasien TBC yang masuk instalasi rawat jalan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Sosodoro Djatikoesoemo, Bojonegoro, mencapai 40 sampai 60 pasien.
“Dari jumlah itu, pasien TBC yang menjalani rawat inap sekitar empat sampai delapan orang,” ujar dr Budi Sutedja, dokter spesialis TBC di RSUD dr Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro.
Budi menuturkan, penyakit TBC ini bahaya tetapi tidak termasuk penyakit yang mematikan. Bahayanya, penyakit ini cepat dan mudah menular. Serta termasuk penyakit dalam yang menyerang paru-paru dan tulang. “Orang yang terkena TBC ini juga rawan terjangkit HIV,” ujarnya.
Meski begitu, penyakit yang berawal dari kuman ini dapat disembuhkan. Meski pasien harus komitmen mengikuti petunjuk dokter. Penderita TBC dapat sembuh bila berobat secara rutin baik rawat inap maupun rawat jalan sampai 6 bulan.
Dalam rentang 6 bulan itu, penderita harus tetap berobat meskipun mulai membaik. “Banyak yang tidak sembuh, karena berhenti di tengah jalan saat berobat,” ujar Budi seraya menambahkan sekira 98 persen penderita TBC bisa sembuh kalau berobat rutin hingga enam bulan tersebut.
TBC bermula dari kuman yang berasal dari dahak. Selanjutnya kuman menyerang seseorang yang memiliki kondisi kurang sehat.
Kendati tidak dapat merinci, penderita TBC di Bojonegoro bervariasi. Sejak 2009 sampai 2011, Budi mengaku penderita TBC terus naik, terutama 3 bulan di 2011 ini.
Sementara itu Humas RSUD dr Sosodoro Djatikoesoemo, Thomas Djaja mengungkapkan, pihaknya kekurangan dokter spesialis paru-paru. Saat ini hanya Budi Sutedja satu-satunya dokter di RSUD. “Padahal seharusnya RSUD tipe B setidaknya memiliki dua dokter spesialis paru,” tandasnya.
(Muhammad Roqib/Koran SI/ton)
DAFTAR PUSTAKA
.
Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah, 2000. Faktor
Risiko yang mempengaruhi kesembuhan Pengobatan Penderita TB Paru di Jawa Tengah,
Laporan hasil penelitian (tahap II), Dinkes Prop. Jawa tengah, Semarang
2000
Dinas
Kesehatan Kabupaten Pekalongan, Laporan
program penanggulangan TBC, Pekalongan, 2008
Dinas
Kesehatan Kabupaten Pekalongan, Profil
Kesehatan Kabupaten Pekalongan, Pekalongan, 2008
NewsMedical.Net,
Apakah Itu Tuberkulosis?, http://news-medical.net/health/What-Is-Tuberculosis-(Indonesian).aspx
diakses pada 21 Oktober 2012 pukul 20:51 WIB
Okezone.com,
2011, Penderita TBC di Bojonegoro Meningkat, http://news.okezone.com/read/2011/03/27/340/439388/penderita-tbc-di-bojonegoro-meningkat/ diakses pada 21 Oktober 2012 pukul 20:03 WIB
World
Health Organization, Dalam; Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis,
Jakarta, 2005
0 komentar :
Posting Komentar