Senin, 18 November 2013

ANALISA KASUS TUBERKULOSIS DI KABUPATEN PEKALONGAN

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam kurun sejarah manusia perang melawan penyakit tuberkulosis paru (Tb-paru) seperti tidak ada putus-putusnya. Ribuan tahun silam seperti ditunjukan oleh tulang-tulang peninggalan masa pra sejarah di Jerman (8000 SM), Tuberkulosis paru diketahui sudah menyerang penduduk pada zamannya. Dari fosil yang digali dari sisa-sisa peradapan Mesir kuno, juga terdapat bukti-bukti bahwa 2,500-1000 tahun SM penyakit ini sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat. Dari berbagai catatan dunia banyak raja-raja dan tokoh-tokoh terkenal seperti Raja Henry VII, Goethe, Rousseau, Chopin diketahui meninggal karena penyakit Tuberkulosis Paru. Di Indonesia situs berupa relief Candi Borobudur sudah mengenal adanya penyakit ini, mungkin saja ada beberapa raja Indonesia yang menderita Tuberkulosis Paru, namun belum terdapat catatan resmi tentang hal ini.

Tuberkulosis paru menyerang sepertiga dari 1,9 miliar penduduk dunia dewasa ini. Setiap tahun terdapat 8 juta kasus baru penderita tuberkulosis paru, dan angka kematian tuberkulosis paru 3 juta orang setiap tahunnya. 1% dari penduduk dunia akan terinfeksi tuberkulosis paru setiap tahun. Satu orang memiliki potensi menularkan 10 hingga 15 orang dalam 1 tahun.
Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan paling sering bermanifestasi di paru. Mikobakterium ini ditransmisikan melalui droplet di udara, sehingga seorang penderita tuberkulosis paru merupakan sumber penyebab penularan tuberkulosis paru pada populasi di sekitarnya. Sampai saat ini penyakit tuberkulosis paru masih menjadi masalah kesehatan yang utama, baik di dunia maupun di Indonesia. Menurut WHO (2006) dilaporkan angka prevalensi kasus penyakit tuberkulosis paru di Indonesia 130/100.000, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan jumlah kematian sekitar 101.000 pertahun, angka insidensi kasus Tuberkulosis paru BTA (+) sekitar 110/100.000 penduduk. Penyakit ini merupakan penyebab kematian urutan ketiga, setelah penyakit jantung dan penyakit saluran pernapasan.
Sekitar 75% penderita tuberkulosis paru adalah kelompok usia produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang penderita tuberkulosis paru dewasa akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan, hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika meninggal akibat penyakit tuberkulosis paru, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun, selain merugikan secara ekonomis, Tuberkulosis paru juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial bahkan kadang dikucilkan oleh masyarakat.
Kerugian yang diakibatkan oleh penyakit tuberkulosis paru bukan hanya dari aspek kesehatan semata tetapi juga dari aspek sosial ekonomi, dengan demikian tuberkulosis paru merupakan ancaman terhadap cita-cita pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Karenanya perang terhadap penyakit tuberkulosis paru berarti pula perang terhadap kemiskinan, ketidakproduktifan dan kelemahan akibat tuberkulosis.
Munculnya pandemi HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome) di dunia menambah permasalahan penyakit tuberkulosis paru, koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian penyakit tuberkulosis paru secara signifikan. Pada saat yang sama kekebalan ganda kuman tuberkulosis terhadap obat anti Tuberkulosis (MDR=Multi Drug Resistance), semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemik penyakit tuberkulosis paru yang sulit ditangani. Penyebab utama meningkatnya beban masalah tuberkulosis paru antara lain;
1. Kondisi sosial ekonomi yang menurun pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara-negara berkembang, sehingga dapat menimbulkan dampak yang buruk kepada lingkungannya.
2. Kondisi lingkungan dalam dan luar rumah yang sangat mendukung untuk terjadinya penyakit tuberkulosis paru.
3. Belum optimalnya program tuberkulosis paru selama ini, hal ini diakibatkan oleh;
a) Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan
b) Tidak memadainya organisasi pelayanan Tuberkulosis (kurang terakses oleh masyarakat, penemuan kasus/diagnosis yang tidak standar, Obat Anti Tuberkulosis (OAT) tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang tidak standar dan sebagainya)
c) Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan panduan obat yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosa)
d) Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas vaksin BCG.
e) Infrastuktur kesehatan yang buruk pada Negara-negara yang mengalami krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat.
4. Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur kependudukan.
5. Dampak pandemik HIV/AIDS
WHO dalam Annual Report on Global TB Control (2003) menyatakan terdapat 22 negara dikategorikan sebagai high burden countries terhadap tuberkulosis paru, termasuk Indonesia. Pada tahun 2004 diperkirakan 2 juta orang meninggal di seluruh dunia karena penyakit tuberkulosis paru dari total 9 juta kasus. Karena jumlah penduduknya yang cukup besar, Indonesia menempati urutan ketiga di dunia dalam hal penderita tuberkulosis paru setelah India dan China. Setiap tahun angka perkiraan kasus baru berkisar antara 500 hingga 600 orang diantara 100.000 penduduk.
Di Indonesia tahun 2004 tercatat ± 627.000 insiden tuberkulosis paru dengan ± 282.000 diantaranya positif pemeriksaan dahak. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004 menunjukkan bahwa estimasi prevalensi tuberkulosis paru berdasarkan pemeriksaan mikroskopis Bakteri Tahan Asam (BTA) positif sebesar 104 per 100.000 penduduk dengan batas bawah 66 dan batas atas 142 pada selang kepercayaan 95%. Badan litbangkes (2003) estimasi incidence rate tuberkulosis paru di Indonesia berdasarkan pemeriksaan (BTA) positif sebesar 128 per 100.000 penduduk. WHO (2005) estimasi incidence rate tuberkulosis paru di Indonesia untuk semua kasus sebesar 675 per 100.000 penduduk.
Di Jawa Tengah berdasarkan laporan evaluasi program pemberantasan penyakit menular berdasarkan indikator nasional program pemberantasan tuberkulosis paru tahun 2005 angka kasus penderita tuberkulosis paru 17.523 penderita. Angka prevalensi sebesar 56,95 per 100.000, dengan angka Case Detection Rate (CDR) sebesar 56,95% penduduk. Tahun 2008 angka kasus penderita tuberkulosis paru 16.748 penderita, angka prevalensi sebesar 54.92 per 100.000 dengan angka case detection rate 46,88%.
Kabupaten Pekalongan dengan luas wilayah 836.13 Km³ yang terdiri dari 19 Kecamatan dan 283 desa, terbagi menjadi daerah dataran rendah dengan jumlah desa 225 (80.31 %), dan daerah pegunungan/dataran tinggi dengan jumlah desa 58 (19.69 %). Mempunyai sarana kesehatan; 2 rumah sakit pemerintah, 1 rumah sakit swasta, 26 puskesmas. Jumlah penduduk di Kabupaten Pekalongan berdasarkan data dari kantor Biro Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Pekalongan tahun 2005 sebesar 843.221 jiwa, tahun 2006 sebesar 886.398 jiwa, tahun 2007 sebesar 955.202 jiwa, tahun 2008 sebesar 967.246 jiwa, mempunyai masalah dengan penyakit tuberkulosis paru dalam 5 tahun terakhir jumlah kasus penderita tuberkulosis paru semakin menurun, begitu pula dengan angka prevalensi disetiap tahun menunjukkan tren yang menurun pula.
Tahun 2005 angka kasus penderita tuberkulosis paru sebanyak 1.382 penderita, tahun 2006 sebanyak 1.161 penderita, tahun 2007 sebanyak 1.097 penderita, tahun 2008 sebanyak 1.052 penderita, Januari Sampai dengan bulan Juni tahun 2009 sebanyak 539 penderita. Angka Prevalensi penyakit tuberkulosis paru di Kabupaten Pekalongan tahun 2005 sebesar 147 per 100.000 penduduk, tahun 2006 sebesar 124 per 100.000 penduduk, tahun 2007 sebesar 117 per 100.000 penduduk, tahun 2008 sebesar 108 per 100.000 penduduk.
Usaha penanggulangan tuberkulosis paru meliputi Surveilans, deteksi dini, dan DOTS ( Directly Observed Treatment, Short-course Therapy), dimana ada 5 komponen kunci dari DOTS yaitu; Komitmen politis, pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya, pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus tuberkulosis dengan tata laksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan, jaminan ketersediaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang bermutu, sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.
Implementasi DOTS sebaiknya disertai dengan perencanaan di semua unit pada semua tingkat pelayanan kesehatan yaitu puskesmas, rumah sakit, dinas kesehatan, laboratorium dan lain-lain. Untuk perencanaan implementasi inilah dibutuhkan data lapangan yang lengkap dan akurat melalui kegiatan surveilans.
Sistem surveilans tuberkulosis paru di Indonesia secara nasional berada dibawah pengawasan Direktorat Jendral P2&PL (Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan) Departemen Kesehatan. Ujung tombak surveilans tuberkulosis paru ditingkat kabupaten/kota bergantung pada wasor (pengawas surveilans tuberkulosis paru) yang berada di dinas kesehatan kabupaten/kota dengan bekerja sama dengan unit pelayanan kesehatan (puskesmas, rumah sakit, BP4, laboratorium dll). Wasor mengumpulkan dan mengolah data dan informasi surveilans tuberkulosis paru kedalam buku register tuberkulosis paru. Di Kabupaten Pekalongan, pencatatan kasus tuberkulosis paru mencakup; identitas penderita, fasilitas yang memberikan pelayanan, hasil pemeriksaan dahak, klasifikasi dahak, tanggal mulai berobat, regimen obat yang diberikan, serta status kesembuhan.
B. GARIS BESAR KASUS
Hingga saat ini pengolahan register tuberkulosis paru di Kabupaten Pekalongan masih terbatas dalam bentuk analisis tabular dan grafik. Analisis sebaran kasus masih berupa agregasi di tingkat desa dan kecamatan, tetapi bukan dalam bentuk pemetaan. Agar dapat mengidentifikasi rantai penularan tuberkulosis paru sistem surveilans seharusnya dapat mengidentifikasi sebaran kasus tuberkulosis paru hingga tingkat individual tidak hanya agregat. Identifikasi lokasi penderita tuberkulosis paru sampai tingkat lokasi individu sangat dimungkinkan karena dalam register tuberkulosis paru terdapat alamat penderita yang dapat dipetakan menggunakan pendekatan Geographic Information System (GIS).
Sampai saat ini belum diketahui pola spasial yang terinci mengenai distribusi kasus tuberkulosis paru di Kabupaten Pekalongan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis distribusi spasial terhadap kasus penyakit tuberkulosis paru di Kabupaten Pekalongan pada bulan Januari 2009 sampai dengan Desember 2009. Gambaran spasial kasus penyakit tuberkulosis paru diharapkan dapat mengidentifikasi faktor-faktor risiko keruangan terhadap penyebaran penyakit tuberkulosis paru di Kabupaten Pekalongan.
C. ALASAN TERTARIK MEMBAHAS KASUS INI
            Saya tertarik membahas kasus ini karena kasus tuberkulosis secara umum adalah penyakit yang berbahaya yang penanganannya di negara kita belum begitu mumpuni. Bahkan disebutkan dalam salah satu koran elektronik bahwa penyakit ini adalah penyakit paling berbahaya nomor dua setelah HIV/AIDS. Untuk itu, saya jadi tertarik untuk menganalisis kasus ini, yang dalam target utama analisis saya yaitu di daerah Kabupaten Pekalongan dan sedikit pembahasan di Bojonegoro.


BAB II
PERMASALAHAN

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas dapat diambil beberapa identifikasi masalah ternyata penyakit tuberkulosis paru masih merupakan masalah kesehatan yang serius terutama di negara berkembang, Indonesia merupakan penyumbang penyakit tuberkulosis paru terbesar ketiga setelah India dan China. Sekitar 75% penderita tuberkulosis paru adalah kelompok usia produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang penderita tuberkulosis paru dewasa akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan, hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Tuberkulosis paru juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial bahkan kadang dikucilkan oleh masyarakat. Kerugian yang diakibatkan oleh penyakit tuberkulosis paru bukan hanya dari aspek kesehatan semata tetapi juga dari aspek sosial ekonomi, dengan demikian tuberkulosis paru merupakan ancaman terhadap cita-cita pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh.
Karenanya perang terhadap penyakit tuberkulosis paru berarti pula perang terhadap kemiskinan, ketidakproduktifan dan kelemahan akibat tuberkulosis. Kondisi di Kabupaten Pekalongan dalam 5 tahun terakhir mengalami penurunan cakupan disertai dengan akan angka prevalensi yang mengalami penurunan juga. Namun penyakit tuberkulosis paru tetap menjadi ancaman yang serius, apalagi bila ditunjang oleh lingkungan rumah yang kurang memadai.
Di Kabupaten Pekalongan, pencatatan kasus tuberkulosis paru mencakup; identitas penderita, fasilitas yang memberikan pelayanan, hasil pemeriksaan dahak, klasifikasi dahak, tanggal mulai berobat, regimen obat yang diberikan, serta status kesembuhan, namun pengolahan register tuberkulosis paru masih terbatas dalam bentuk analisis tabular dan grafik dan belum pernah dilakukan pencatatan sebaran kasus dalam bentuk spasial. Analisis sebaran kasus masih berupa agregasi di tingkat desa dan kecamatan, tetapi bukan dalam bentuk pemetaan.
Faktor risiko terjadinya penyakit tuberkulosis paru di Kabupaten Pekalongan dikelompokkan kedalam 2 kelompok faktor risiko yaitu faktor kependudukkan dan faktor lingkungan. Faktor kependudukan meliputi ; jenis kelamin, umur, status gizi, status imunisasi, kondisi sosial ekonomi, adapun faktor risiko lingkungan meliputi ; kepadatan penghuni, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, suhu dan ketinggian. Untuk mendeteksi lingkungan yang rentan penyakit dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dan Geografic Information System (GIS) yang merupakan suatu sistem yang mampu mengolah , memperbaiki, memperbaharui, dan menganalisis data, khususnya data spasial secara cepat. Dan sampai saat ini belum diketahui pola spasial yang lebih rinci tentang penyebaran penyakit tuberkulosis paru di Kabupaten pekalongan. Dari uraian tersebut dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apakah ada hubungan antara karakteristik penduduk (jenis kelamin, umur, status gizi, status imunisasi, kondisi sosial ekonomi) dengan kejadian tuberkulosis paru di Kabupaten Pekalongan?
2. Apakah ada hubungan antara karakteristik lingkungan (meliputi; kepadatan penghuni, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, suhu dan ketinggian) dengan kejadian tuberkulosis paru di Kabupaten Pekalongan?


BAB III
PEMBAHASAN
A. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis), yang menyerang terutama paru dan disebut juga tuberkulosis paru. Bila menyerang organ selain paru (kelenjar limfe, kulit, otak, tulang, usus, ginjal) disebut tuberkulosis ekstra paru. Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang, berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant atau tertidur lama dalam beberapa tahun.
1. Cara penularan
Cara penularan tuberkulosis paru melalui percikan dahak (droplet) sumber penularan adalah penderita tuberkulosis paru BTA(+), pada waktu penderita tuberkulosis paru batuk atau bersin. Droplet yang mengandung kuman TB dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam, sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman, percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman TB masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian tubuh lainnya.
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahaknya maka makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahaknya negatif maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Risiko penularan setiap tahun Annual Risk Of Tuberculosis Infection (ARTI) di Indonesia cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3%. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1% berarti setiap tahun di antara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi, kemudian sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita tuberkulosis paru, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita tuberkulosis. Dari keterangan tersebut dapat diperkirakan bahwa pada daerah dengan ARTI 1%, maka di antara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 penderita setiap tahun, dimana 50 penderita adalah BTA positif.
Faktor risiko yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita tuberkulosis paru adalah karena daya tahan tubuh yang lemah, di antaranya karena gizi buruk dan HIV/AIDS. HIVmerupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi kuman TB menjadi sakit tuberkulosis paru. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (opportunistic), seperti tuberkulosis paru maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita tuberkulosis paru akan meningkat pula, dengan demikian penularan penyakit tuberkulosis paru di masyarakat akan meningkat pula.
2. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala tuberkulosis paru biasanya adalah sebagai berikut ;
a. Gejala utama: batuk terus menerus dan berdahak selama tiga minggu atau lebih.
b. Gejala tambahan, yang sering dijumpai:
1. Dahak bercampur darah
2. Batuk darah
3. Sesak nafas dan rasa nyeri dada|
4. Badan lemah dan nafsu makan menurun
5. Malaise atau rasa kurang enak badan
6. Berat badan menurun
7. Berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan
8. Demam meriang lebih dari satu bulan
Gejala-gejala tersebut dijumpai pula pada penyakit paru selain tuberkulosis. Oleh karena itu setiap orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) dengan gejala tersebut, harus dianggap sebagai seorang suspek tuberkulosis paru atau tersangka penderita tuberkulosis paru, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
c. Gambaran Klinik
1). Gejala Sistemik
Secara sistemik pada umumnya penderita akan mengalami demam, demam tersebut berlangsung pada waktu sore dan malam hari, disertai dengan keluar keringat dingin meskipun tanpa kegiatan, kemudian kadang hilang. Gejala ini akan timbul lagi beberapa bulan seperti demam influenza biasa dan kemudian juga seolah-olah sembuh (tidak demam lagi). Gejala lain adalah malaise (seperti perasaan lesu) yang bersifat berkepanjangan kronik, disertai rasa tidak enak badan, lemah dan lesu, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, badan semakin kurus, pusing, serta mudah lelah. Gejala sistemik ini terdapat baik pada tuberkulosis paru maupun tuberkulosis yang menyerang organ lain.
2). Gejala Respiratorik
Adapun gejala respiratorik atau gejala saluran pernapasan adalah batuk. Batuk bisa berlangsung terus menerus selama 3 minggu atau lebih, hal ini terjadi apabila sudah melibatkan bronchus. Gejala respiratorik lainnya adalah batuk produktif sebagai upaya untuk membuang ekskresi peradangan berupa dahak atau sputum, dahak ini kadang bersifat mukoid atau purulent. Kadang gejala respiratorik ini ditandai dengan batuk darah, hal ini disebabkan karena pembuluh darah pecah akibat luka dalam alveoli yang sudah lanjut. Batuk darah inilah yang sering membawa penderita ke dokter. Apabila kerusakan sudah meluas, timbul sesak napas dan apabila pleura sudah terkena maka disertai pula rasa nyeri dada.
3. Diagnosis Tuberkulosis Paru
Diagnosis tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA Positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen hasilnya positif. Bila hanya satu spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS) diulang :
a. Kalau hasil rontgen mendukung tuberkulosis paru, maka penderita di diagnosis sebagai penderita tuberkulosis paru BTA Positif.
b. Kalau hasil rontgen tidak mendukung tuberkulosis paru, maka pemeriksaan dahak ulangi dengan SPS lagi.
Apabila fasilitas memungkinkan maka dapat dilakukan pemeriksaan biakan. Bila tiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misal : kotrimoksasol atau amoksisillin) selama 1 – 2 minggu, bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan tuberkulosis paru, ulangi pemeriksaan dahak SPS.


4. Penemuan Penderita Tuberkulosis paru
Penemuan penderita tuberkulosis paru dilakukan secara;
a. Passive promotif case finding
yaitu penemuan penderita secara pasif dengan promotif aktif pada pengunjung (tersangka atau suspek) di unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita tuberkulosis paru.
b. Pemeriksaan pada tersangka yang kontak dengan penderita
Yaitu semua orang yang kontak dengan penderita Tuberkulosis Paru dengan BTA positif dengan gejala yang sama, kemudian diperiksa dahaknya meliputi 3 spesimen dahak Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS), dilakukan selama 2 hari berturut-turut dan dahak yang terkumpul dikirim ke laboratorium.
5. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru dan Tipe Penderita
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita tuberkulosis paru memerlukan suatu definisi kasus yang memberikan batasan baku setiap klasifikasi dan tipe penderita. Ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan definisi kasus yaitu ;
a. Organ tubuh yang sakit; paru atau ektra paru
b. Hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung; BTA positif atau BTA negatif.
c. Riwayat pengobatan sebelumnya; baru atau sudah pernah diobati
d. Tingkat keparahan penyakit; berat atau ringan.
Tujuan dari pada klasifikasi penyakit dan tipe penderita adalah untuk menetapkan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang sesuai dan dilakukan sebelum pengobatan dimulai.

5.1. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru
a) Tuberkulosis paru BTA positif ;
(1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
(2) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
b) Tuberkulosis paru BTA negatif ;
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
c) Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung, kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lainlain.
5.2. Tipe Penderita Tuberkulosis Paru
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu :
a) Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
b) Kambuh (Relaps)
Adalah penderita tuberkulosis paru yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis paru dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
c) Pindahan (Tranfer In)
Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain, kemudian pindah berobat ke kabupaten ini.
d) Pengobatan setelah lalai (Default / Drop-out )
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. umumnya penderita tersebut kembali dengan pemeriksaan dahak BTA positif.
e) Gagal
(1) Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan setelah pengobatan) atau lebih.
(2) Adalah penderita dengan hasil BTA negatif rontgen positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke 2 pengobatan.
f) Kasus Kronis
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan sputum masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2.
6. Pengobatan Tuberkulosis Paru
Pengobatan penderita tuberkulosis paru harus dengan panduan beberapa Obat Anti Tuberkulosis (OAT), berkesinambungan dan dalam waktu tertentu agar mendapatkan hasil yang optimal ( OAT dalam bentuk kombipak atau FDC (Fixed Dose Combination). Kesembuhan yang baik akan memperlihatkan sputum BTA negatif, adanya perbaikan radiologi dan menghilangnya gejala penyakit. Tujuan pengobatan tuberkulosis paru dengan jangka pendek adalah untuk memutus rantai penularan dengan menyembuhkan penderita tuberkulosis paru minimal 80% dari seluruh kasus tuberkulosis paru BTA positif yang ditemukan, serta mencegah resistensi ( kekebalan kuman terhadap OAT).
6.1. Jenis dan Dosis OAT
a. Isoniasid (H)
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang . Dosis yang dianjurkan 5 mg/kg Berat
Badan (BB), sedangkan pengobatan intermiten tiga kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB.
b. Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi dormant (persiter) yang tidak dapat di bunuh oleh isoniasid. Dosis 10 mg/kg BB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun intermiten tiga kali seminggu.
c. Pirasinamid (Z)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten tiga kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB.
d. Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid, dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten tiga kali seminggu digunakan dosis yang sama. Penderita berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75 gr/hari, sedangkan untuk umur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50
gr/hari.
e. Etambutol (E)
Bersifat sebagai bakteriostatik, dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten tiga kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg BB.
7. Pencegahan Penyakit Tuberkulosis Paru
Mencegah lebih baik dari pada mengobati, kata-kata itu selalu menjadi acuan dalam penanggulangan penyakit TB-Paru di masyarakat. Adapun upaya pencegahan yang harus dilakukan adalah ;
a. Penderita tidak menularkan kepada orang lain ;
1. Menutup mulut pada waktu batuk dan bersin dengan sapu tangan atau tissu.
2. Tidur terpisah dari keluarga terutama pada dua minggu pertama pengobatan.
3. Tidak meludah di sembarang tempat, tetapi dalam wadah yang diberi lysol, kemudian dibuang dalam lubang dan ditimbun dalam tanah.
4. Menjemur alat tidur secara teratur pada pagi hari.
5. Membuka jendela pada pagi hari, agar rumah mendapat udara bersih dan cahaya matahari yang cukup sehingga kuman tuberkulosis paru dapat mati.
b. Masyarakat tidak tertular dari penderita tuberkulosis paru ;
1. Meningkatkan daya tahan tubuh, antara lain dengan makan- makanan yang bergizi
2. Tidur dan istirahat yang cukup
3. Tidak merokok dan tidak minum-minuman yang mengandung alkohol.
4. Membuka jendela dan mengusahakan sinar matahari masuk ke ruang tidur dan ruangan lainnya.
5. Imunisasi BCG pada bayi.
6. Segera periksa bila timbul batuk lebih dari tiga minggu.
7. Menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50% dari penderita Tuberkulosis Paru akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi, dan 25% sebagai kasus kronik yang tetap menular.
8. Epidemiologi Tuberkulosis Paru
Epidemiologi penyakit tuberkulosis paru adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara kuman (agent) Mycobacterium tuberculosis, manusia (host) dan lingkungan (environment). Disamping itu mencakup distribusi dari penyakit, perkembangan dan penyebarannya, termasuk didalamnya juga mencakup prevalensi dan insidensi penyakit tersebut yang timbul dari populasi yang tertular. Pada penyakit tuberkulosis paru sumber infeksi adalah manusia yang mengeluarkan basil tuberkel dari saluran pernafasan. Kontak yang rapat (misalnya dalam keluarga) menyebabkan banyak kemungkinan penularan melalui droplet. Kerentanan penderita tuberkulosis paru meliputi risiko memperoleh infeksi dan konsekuensi timbulnya penyakit setelah terjadi infeksi, sehingga bagi orang dengan uji tuberkulin negatif risiko memperoleh basil tuberkel bergantung pada kontak dengan sumber-sumber kuman penyebab infeksi terutama dari penderita tuberkulosis dengan BTA positif. Konsekuensi ini sebanding dengan angka infeksi aktif penduduk, tingkat kepadatan penduduk, keadaan social ekonomi yang merugikan dan perawatan kesehatan yang tidak memadai. Berkembangnya penyakit secara klinik setelah infeksi dimungkinkan adannya faktor komponen genetik yang terbukti pada hewan dan diduga terjadi pada manusia, hal ini dipengaruhi oleh umur, kekurangan gizi dan kenyataan status immunologik serta penyakit yang menyertainya.
Epidemiologi tuberkulosis paru mempelajari tiga proses khusus yang terjadi pada penyakit ini, yaitu;
a. Penyebaran atau penularan dari kuman tuberkulosis
b. Perkembangan dari kuman tuberkulosis paru yang mampu menularkan pada orang lain setelah orang tersebut terinfeksi dengan kuman Tuberkulosis.
c. Perkembangan lanjut dari kuman tuberkulosis sampai penderita sembuh atau meninggal karena penyakit ini.
9. Patologi Penyakit Tuberkulosis Paru
a. Infeksi Primer
Pada penyakit tuberkulosis paru sumber infeksi adalah manusia yang mengeluarkan basil tuberkel dari saluran pernapasan, kontak yang rapat (misalnya dalam keluarga) menyebabkan banyak kemungkinan penularan melalui inti droplet. Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman tuberkulosis, droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis paru berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan didalam paru, saluran linfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai komplek primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan komplek primer adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberculin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman tuberkulosis. Meskipun demikian ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persistent atau dormant (tidur), kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi penderita tuberkulosis paru. Masa inkubasinya yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan selama 6 bulan.
b. Tuberkulosis Paru Pasca Primer ( Post Primary Tuberculosis Paru);
Tuberkulosis paru pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis paru pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.
c. Komplikasi pada penderita tuberkulosis paru
Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut :
a. Hemoptisis berat (Perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.
b. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial
c. Bronkiektasis (Pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
d. Pneumothorak (Adanya udara di dalam rongga pleura) spontan, kolap spontan karena kerusakan jaringan.
e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal, dan sebagainya.
f. Insufisiensi Kardio Pulmoner ( Cardio Pulmonary Insufficiency).
10. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadian penyakit Tuberkulosis Paru
Teori John Gordon, mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit sangat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit (agent), penjamu (host), dan lingkungan (environment). Ketiga faktor penting ini disebut segi tiga epidemiologi (Epidemiologi Triangle), hubungan ketiga faktor tersebut digambarkan secara sederhana sebagai timbangan yaitu agent penyebab penyakit pada satu sisi dan penjamu pada sisi yang lain dengan lingkungan sebagai penumpunya. Bila agent penyebab penyakit dengan penjamu berada dalam keadaan seimbang, maka seseorang berada dalam keadaan sehat, perubahan keseimbangan akan menyebabkan seseorang sehat atau sakit, penurunan daya tahan tubuh akan menyebabkan bobot agent penyebab menjadi lebih berat sehingga seseorang menjadi sakit, demikian pula bila agent penyakit lebih banyak atau lebih ganas sedangkan faktor penjamu tetap, maka bobot agent penyebab menjadi lebih berat. Sebaliknya bila daya tahan tubuh seseorang baik atau meningkat maka ia dalam keadaan sehat. Apabila faktor lingkungan berubah menjadi cenderung menguntungkan agent penyebab penyakit, maka orang akan sakit, pada prakteknya seseorang menjadi sakit akibat pengaruh berbagai faktor berikut :
a. Agent
Mycobacterium tuberculosis adalah suatu anggota dari famili Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo Actinomycetalis. Mycobacterium tuberculosis menyebabkan sejumlah penyakit berat pada manusia dan penyebab terjadinya infeksi tersering. Masih terdapat Mycobacterium patogen lainnya, misalnya Mycobacterium leprae, Mycobacterium paratuberkulosis dan Mycobacterium yang dianggap sebagai Mycobacterium non tuberculosis atau tidak dapat terklasifikasikan (Heinz, 1993).
Di luar tubuh manusia, kuman Mycobacterium tuberculosis hidup baik pada lingkungan yang lembab akan tetapi tidak tahan terhadap sinar matahari. Mycobacterium tuberculosis mempunyai panjang 1-4 mikron dan lebar 0,2- 0,8 mikron. Kuman ini melayang diudara dan disebut droplet nuclei. Kuman\ tuberkulosis dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab, gelap tanpa sinar matahari sampai bertahun-tahun lamanya. Tetapi kuman tuberkulosis akan mati bila terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol dan panas api (Atmosukarto & Soewasti, 2000). Kuman tuberkulosis jika terkena cahaya matahari akan mati dalam waktu 2 jam, selain itu kuman tersebut akan mati oleh tinctura iodi selama 5 menit dan juga oleh ethanol 80 % dalam waktu 2 sampai 10 menit serta oleh fenol 5 % dalam waktu 24 jam. Mycobacterium tuberculosis seperti halnya bakteri lain pada umumnya, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban yang tinggi. Air membentuk lebih dari 80 % volume sel bakteri dan merupakan hal essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri. Kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk tuberkulosis. Mycobacterium tuberculosis memiliki rentang suhu yang disukai, merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 25 – 40 C, tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31-37 C.
Pengetahuan mengenai sifat-sifat agent sangat penting untuk pencegahan dan penanggulangan penyakit, sifat-sifat tersebut termasuk ukuran, kemampuan berkembang biak, kematian agent atau daya tahan terhadap pemanasan atau pendinginan.
Agent adalah penyebab yang essensial yang harus ada, apabila penyakit timbul atau manifest, tetapi agent sendiri tidak sufficient/memenuhi syarat untuk menimbulkan penyakit. Agent memerlukan dukungan faktor penentu agar penyakit dapat manifest. Agent yang mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis paru adalah kuman Mycobacterium tuberculosis. Agent ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pathogenitas, infektifitas dan virulensi.
Pathogenitas adalah daya suatu mikroorganisme untuk menimbulkan penyakit pada host. Pathogenitas agent dapat berubah dan tidak sama derajatnya bagi berbagai host. Berdasarkan sumber yang sama pathogenitas kuman tuberkulosis paru termasuk pada tingkat rendah. Infektifitas adalah kemampuan suatu mikroba untuk masuk ke dalam tubuh host dan berkembang biak didalamnya. Berdasarkan sumber yang sama infektifitas kuman tuberkulosis paru termasuk pada tingkat menengah. Virulensi adalah keganasan suatu mikroba bagi host. Berdasarkan sumber yang sama virulensi kuman tuberkulosis paru termasuk tingkat tinggi, jadi kuman ini tidak dapat dianggap remeh begitu saja.
b. Host
Manusia merupakan reservoar untuk penularan kuman Mycobacterium tuberculosis, kuman tuberkulosis menular melalui droplet nuclei. Seorang penderita tuberkulosis dapat menularkan pada 10-15 orang (Depkes RI, 2002). Menurut penelitian pusat ekologi kesehatan (1991), menunjukkan tingkat penularan tuberkulosis di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya. Di dalam rumah dengan ventilasi baik, kuman ini dapat hilang Terbawa angin dan akan lebih baik lagi jika ventilasi ruangannya menggunakan pembersih udara yang bisa menangkap kuman TB. Menurut penelitian Atmosukarto dari Litbang Kesehatan (2000), didapatkan data bahwa;
1) Tingkat penularan tuberkulosis di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya.
2) Besar resiko terjadinya penularan untuk rumah tangga dengan penderita lebih dari 1 orang adalah 4 kali dibanding rumah tangga dengan hanya 1 orang penderita tuberkulosis.
Hal yang perlu diketahui tentang host atau penjamu meliputi karakteristik; gizi atau daya tahan tubuh, pertahanan tubuh, higiene pribadi, gejala dan tanda penyakit dan pengobatan. Karakteristik host dapat dibedakan antara lain; Umur, jenis kelamin, pekerjaan, keturunan, pekerjaan, keturunan, ras dan gaya hidup. Host atau penjamu; manusia atau hewan hidup, termasuk burung dan anthropoda yang dapat memberikan tempat tinggal atau kehidupan untuk agent menular dalam kondisi alam (lawan dari percobaan). Host untuk kuman tuberkulosis paru adalah manusia dan hewan, tetapi host yang dimaksud dalam penelitia ini adalah manusia. Beberapa faktor host yang mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis paru adalah; kekebalan tubuh (alami dan buatan), status gizi, pengaruh infeksi HIV/AIDS.
c. Environment
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host baik benda mati, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat interaksi semua elemen-elemen termasuk host yang lain. Lingkungan terdiri dari lingkungan fisik dan non fisik, lingkungan fisik terdiri dari; Keadaan geografis (dataran tinggi atau rendah, persawahan dan lain-lain), kelembaban udara, temperatur atau suhu, lingkungan tempat tinggal. Adapun lingkungan non fisik meliputi; sosial (pendidikkan, pekerjaan), budaya (adat, kebiasaan turun-temurun), ekonomi (kebijakkan mikro dan lokal) dan politik (suksesi kepemimpinan yang mempengaruhi kebijakan pencegahan dan penanggulangan suatu penyakit).
Menurut APHA (American Public Health Assosiation), lingkungan rumah yang sehat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Memenuhi kebutuhan fisiologis;
a. Suhu ruangan, yaitu dalam pembuatan rumah harus diusahakan agar kontruksinya sedemikian rupa sehingga suhu ruangan tidak berubah banyak dan agar kelembaban udara dapat dijaga jangan sampai terlalu tinggi dan terlalu rendah. Untuk ini harus diusahakan agar perbedaan suhu antara dinding, lantai, atap dan permukaan jendela tidak terlalu banyak.
b. Harus cukup mendapatkan pencahayaan baik siang maupun malam. Suatu ruangan mendapat penerangan pagi dan siang hari yang cukup yaitu jika luas ventilasi minimal 10 % dari jumlah luas lantai.
c. Ruangan harus segar dan tidak berbau, untuk ini diperlukan ventilasi yang cukup untuk proses pergantian udara.
d. Harus cukup mempunyai isolasi suara sehingga tenang dan tidak terganggu oleh suara-suara yang berasal dari dalam maupun dari luar rumah.
e. Harus ada variasi ruangan, misalnya ruangan untuk anak-anak bermain, ruang makan, ruang tidur, dll.
f. Jumlah kamar tidur dan pengaturannya disesuaikan dengan umur dan jenis kelaminnya. Ukuran ruang tidur anak yang berumur kurang dari lima tahun minimal 4,5 m³, artinya dalam satu ruangan anak yang berumur lima tahun ke bawah diberi kebebasan menggunakan volume ruangan 4,5 m³ (1,5 x 1 x3 m³) dan diatas lima tahun menggunakan ruangan 9 m³ (3 x 1 x 3 m³)
2. Perlindungan terhadap penularan penyakit;
a. Harus ada sumber air yang memenuhi syarat, baik secara kualitas maupun kuantitas, sehingga selain kebutuhan untuk makan dan minum terpenuhi, juga cukup tersedia air untuk memelihara kebersihan rumah, pakaian dan penghuninya.
b. Harus ada tempat menyimpan sampah dan WC yang baik dan memenuhi syarat, juga air pembuangan harus bisa dialirkan dengan baik.|
c. Pembuangan kotoran manusia dan limbah harus memenuhi syarat kesehatan, yaitu harus dapat mencegah agar limbah tidak meresap dan mengkontaminasi permukaan sumber air bersih.
d. Tempat memasak dan tempat makan hendaknya bebas dari pencemaran dan gangguan binatang serangga dan debu.
e. Harus ada pencegahan agar vektor penyakit tidak bisa hidup dan berkembang biak di dalam rumah, jadi rumah dalam kontruksinya harus rat proof, fly fight, mosquito fight.
f. Harus ada ruangan udara (air space) yang cukup.
g. Luas kamar tidur minimal 9 m³ per orang dan tinggi langit-langit minimal 2.75 meter.
Faktor lingkungan memegang peranan yang penting dalam penularan penyakit tuberkulosis, terutama pada pemenuhan physiologis rumah, sebab sinar ultra violet yang terdapat pada sinar matahari dapat membunuh kuman tuberkulosis paru, selain itu sinar matahari juga dapat mengurangi kelembaban yang berlebihan, sehingga dapat mencegah berkembangnya kuman tuberkulosis paru dalam rumah, oleh karenanya suatu rumah sangat perlu adanya pencahayaan langsung yang cukup dari sinar matahari.
11. Faktor Risiko Tuberkulosis Paru
Faktor risiko yaitu semua variabel yang berperan timbulnya kejadian penyakit. Pada dasarnya berbagai faktor risiko penyakit tuberkulosis paru saling berkaitan satu sama lainnya. Berbagai faktor risiko dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar yaitu; kependudukan dan faktor lingkungan.
a. Faktor Risiko Karakteristik Penduduk
Kejadian penyakit tuberkulosis paru merupakan hasil interaksi antara komponen lingkungan yakni udara yang mengandung basil tuberkulosis, dengan masyarakat serta dipengaruhi berbagai faktor variabel yang mempengaruhinya. Variabel pada masyarakat secara umum dikenal sebagai variabel kependudukan. Banyak variabel kependudukan yang memiliki peran dalam timbulnya atau kejadian penyakit tuberkulosis paru, yaitu:
1) Jenis Kelamin
Dari catatan statistik meski tidak selamanya konsisten, mayoritas penderita tuberkulosis paru adalah wanita, hal ini masih memerlukan penyelidikan dan penelitian lebih lanjut, baik pada tingkat behavioural, tingkat kejiwaan, sistem pertahanan tubuh, maupun tingkat molekuler. Untuk sementara , diduga jenis kelamin wanita merupakan faktor risiko yang masih memerlukan evidence pada masing-masing wilayah sebagai dasar pengendalian atau dasar manajemen.
2) Umur
Variabel umur berperan dalam kejadian penyakit tuberkulosis paru, risiko untuk mendapatkan penyakit tuberkulosis paru dapat dikatakan seperti kurva normal terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun karena diatas 2 tahun hingga dewasa memiliki daya tangkal terhadap tuberkulosis paru dengan baik. Puncaknya tentu dewasa muda dan menurun kembali ketika seseorang atau kelompok menjelang usia tua (Warren,1994, Daniel dalam harison, 1991). Namun di Indonesia diperkirakan 75% penderita tuberkulosis paru adalah usia produktif yaitu 15 hingga 50 tahun. (Depkes,2002).Kekuatan untuk melawan infeksi adalah tergantung pertahanan tubuh dan ini sangat dipengaruhi oleh umur penderita. Pada awal kelahiran pertahanan tubuh sangat lemah dan akan meningkatsecara perlahan sampai umur 10 tahun, setelah masa pubertas pertahanan tubuh lebih baik dalam mencegah penyebaran infeksi melalui darah, tetapi lemah dalam mencegah penyebaran infeksi di paru. Tingkat umur penderita dapat mempengaruhi kerja efek obat, karena metabolisme obat dan fungsi organ tubuh kurang efisien pada bayi yang sangat mudah dan pada orang tua, sehingga dapat menimbulkan efek yang lebih kuat dan panjang pada kedua kelompok umur ini (Crofton, 2002).
3) Status Gizi
Status gizi merupakan variabel yang sangat berperan dalam timbulnya kejadian tuberkulosis paru, tentu saja hal ini masih tergantung variabel lain yang utama yaitu ada tidaknya kuman tuberkulosis pada paru. Seperti diketahui kuman tuberkulosis merupakan kuman yang suka tidur hingga bertahun-tahun, apabila memiliki kesempatan untuk bangun dan menimbulkan penyakit maka timbulah kejadian penyakit tuberkulosis paru. Oleh karena itu salah satu kekuatan daya tangkal adalah status gizi yang baik, baik pada wanita, laki-laki, anak-anak maupun dewasa. Status gizi yang buruk merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian tuberkulosis paru, kekurangan kalori dan protein serta kekurangan zat besi dapat meningkatkan risiko terkena tuberkulosis paru, cara pengukurannya adalah dengan membandingkan berat badan dan tinggi badan atau Indek Masa Tubuh (IMT). IMT merupakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang. Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur diatas 18 tahun, IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan olah ragawan, disamping itu pula IMT tidak bisa diterapkan pada keadaan khusus (penyakit) lainnya seperti edema, asites dan hepatomegali
4) Kondisi Sosial Ekonomi
WHO (2003) menyebutkan 90% penderita tuberkulosis paru di dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Hubungan antara kemiskinan dengan penyakit tubekulosis bersifat timbal balik, tuberkulosis merupakan penyebab kemiskinan dan karena miskin maka manusia menderita tuberkulosis. Kondisi sosial ekonomi itu sendiri, mungkin tidak hanya berhubungan secara langsung, namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi memburuk, serta perumahan yang tidak sehat, dan akses terhadap pelayanan kesehatan juga menurun kemampuannya. Menurut perhitungan rata-rata penderita tuberkulosis kehilangan 3 sampai 4 bulan waktu kerja dalam setahun, dan juga kehilangan penghasilan setahun secara total mencapai 30% dari pendapatan rumah tangga. Tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan sangat mempengaruhi terjadinya kasus tuberkulosis paru atau keberhasilan pengobatan, status sosial ekonomi keluarga diukur dari jenis, keadaan rumah, kepadatan penghuni per kamar, status pekerjaan dan harta kepemilikan (Schoeman,1991). Masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah sering mengalami kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, sehingga penyakit tuberkulosis paru menjadi ancaman bagi mereka (Soewasti,1997). Penyebab terbesar menurunya kasus tuberkulosis paru adalah meningkatnya tingkat sosial ekonomi keluarga tetapi faktor lain akibat sosial ekonomi adalah pengaruh lingkungan rumah secara fisik baik pada ventilasi, pencahayaan, kepadatan rumah dan pemenuhan gizi (Smith,1994).
b. Faktor Risiko Lingkungan
1) Kepadatan Penghuni Rumah
Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m² per orang. Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk perumahan sederhana, minimum 9 m²/orang. Untuk kamar tidur diperlukan minimum 3 m² per orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah dua tahun. Apabila ada anggota keluarga yang menjadi penderita penyakit tuberkulosis sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya. Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan menggunakan ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni 9 m² per orang dan kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni < 9 m² per orang (Lubis, 1989). Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan berjubelan (overcrowded). Hal ini tidak sehat karena disamping menyebabakan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, terutama tuberkulosis akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya
Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit, semakin padat maka perpindahan penyakit khususnya penyakit melalui udara akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu kepadatan hunian dalam rumah tempat tinggal merupakan variabel yang berperan dalam kejadian tuberkulosis. Untuk itu Departemen Kesehatan telah membuat peraturan tentang rumah sehat dengan rumus jumlah penghuni/ luas bangunan. Syarat rumah dianggap sehat adalah 9 m2 per orang (Depkes 2003), jarak antara tempat tidur satu dan lainnya adalah 90 cm, kamar tidur sebaiknya tidak dihuni 2 orang atau lebih kecuali anak dibawah 2 tahun. Sebuah penelitian di Ciampea menunjukkan bahwa risiko untuk terkena penyakit tuberkulosis 1,3 kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang kurang memenuhi persyaratan kesehatan (Supriyono, 2003).
2) Lantai Rumah
Secara hipotesis jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian tuberkulosis, melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban, dengan demikian viabilitas kuman tuberkulosis di lingkungan juga sangat dipengaruhi. Lantai merupakan dinding penutup ruangan bagian bawah, konstruksi lantai rumah harus rapat air dan selalu kering agar mudah dibersihkan dari kotoran dan debu, selain itu dapat menghindari naiknya tanah yang dapat menyebabkan meningkatnya kelembaban dalam ruangan. Untuk mencegah masuknya air ke dalam rumah, maka lantai rumah sebaiknya dinaikkan 20 cm dari permukaan tanah. Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari bahan yang kedap terhadap air sehingga lantai tidak menjadi lembab dan selalu basah seperti tegel, semen, keramik.
Lantai yang tidak memenuhi syarat dapat dijadikan tempat hidup dan perkembangbiakan kuman dan vektor penyakit, menjadikan udara dalam ruangan lembab, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya. Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari bahan yang kedap terhadap air seperti tegel, semen atau keramik.
3) Ventilasi
Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang menyenangkan dan menyehatkan manusia. Berdasarkan kejadiannya, maka ventilasi dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu:
(a) Ventilasi alam.
Ventilasi alam berdasarkan pada tiga kekuatan, yaitu: daya difusi dari gas-gas, gerakan angin dan gerakan massa di udara karena perubahan temperatur. Ventilasi alam ini mengandalkan pergerakan udara bebas (angin), temperatur udara dan kelembabannya. Selain melalui jendela, pintu dan lubang angin, maka ventilasi pun dapat diperoleh dari pergerakan udara sebagai hasil sifat porous dinding ruangan, atap dan lantai.
(b) Ventilasi buatan
Pada suatu waktu, diperlukan juga ventilasi buatan dengan menggunakan alat mekanis maupun elektrik. Alat-alat tersebut diantarana adalah kipas angin, exhauster dan AC (air conditioner). Persyaratan ventilasi yang baik adalah sebagai berikut:
Luas lubang ventilasi tetap minimal 5 % dari luas lantai ruangan, sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimal 5 % dari luas lantai. Jumlah keduanya menjadi 10% dari luas lantai ruangan.
Udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap dari sampah atau pabrik, knalpot kendaraan, debu dan lain-lain.
Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan menempatkan lubang ventilasi berhadapan antar dua dinding. Aliran udara ini jangan sampai terhalang oleh barang-barang besar, misalnya lemari, dinding, sekat dan lain-lain.
Secara umum, penilaian ventilasi rumah dengan cara membandingkan antara luas ventilasi dan luas lantai rumah, dengan menggunakan Role meter. Menurut indikator pengawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 10% luas lantai rumah (Depkes RI, 1989). Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya, salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Luas ventilasi rumah yang < 10 % dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Disamping itu, tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan.
Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen termasuk kuman tuberkulosis. Selain itu, fungsi kedua ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen seperti tuberkulosis, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir (Notoatmodjo, 2003). Selain itu, luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan terhalangngya proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman tuberkulosis yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan.
Ventilasi bermanfaat bagi sirkulasi pergantian udara dalam rumah serta mengurangi kelembaban, keringat manusia juga dikenal mempengaruhi kelembaban. Semakin banyak manusia dalam satu ruangan kelembaban semakin tinggi khususnya karena uap air baik dari pernapasan maupun keringat. Kelembaban dalam ruang tertutup dimana banyak terdapat manusia di dalamnya lebih tinggi dibanding kelembaban di luar ruang. Ventilasi mempengaruhi proses dilusi udara juga dengan kata lain mengencerkan konsentrasi kuman tuberkulosis dan kuman lain terbawa keluar dan mati terkena sinar ultra violet. Ventilasi juga dapat merupakan tempat untuk memasukkan cahaya ultra violet, hal ini akan semakin baik apabila konstruksi rumah menggunakan genteng kaca, maka hal ini merupakan kombinasi yang baik. Menurut persyaratan ventilasi yang baik adalah 10% dari luas lantai (Kepmenkes, 1999;Depkes 2003) Supriyono (2003) di Ciampea menghitung risiko untuk terkena tuberkulosis 5,2 kali pada penghuni yang memiliki ventilasi buruk dibanding penduduk berventilasi memenuhi syarat kesehatan. Meski secara skeptical bisa saja terdapat bias karena sebab lain misalnya kemiskinan, ventilasi secara teoritis bermanfaat untuk sirkulasi udara dan pengenceran kuman.

4) Pencahayaan
Rumah sehat memerlukan cahaya yang cukup khususnya cahaya alam berupa cahaya matahari yang berisi antara lain ultra violet. Cahaya matahari minimal masuk 60 lux dengan syarat tidak menyilaukan. Pencahayaan rumah yang tidak memenuhi syarat berisiko 2,5 kali terkena tuberkulosis disbanding penghuni yang memenuhi persyaratan di Jakarta Timur (Pertiwi, 2004). Semua cahaya pada dasarnya dapat mematikan, namun tentu tergantung jenis dan lama cahaya tersebut. Pencahayaan alami ruangan rumah adalah penerangan yang bersumber dari sinar matahari (alami), yaitu semua jalan yang memungkinkan untuk masuknya cahaya matahari alamiah, misalnya melalui jendela atau genting kaca (Notoatmodjo, 2003). Cahaya berdasarkan sumbernya dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
a) Cahaya Alamiah
Cahaya alamiah yakni matahari. Cahaya ini sangat penting, karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya kuman TBC, oleh karena itu, rumah yang cukup sehat seyogyanya harus mempunyai jalan masuk yang cukup (jendela), luasnya sekurang-kurangnya 15 % - 20 %. Perlu diperhatikan agar sinar matahari dapat langsung ke dalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela disini selain sebagai ventilasi, juga sebagai jalan masuk cahaya. Selain itu jalan masuknya cahaya alamiah juga diusahakan dengan genteng kaca.
b) Cahaya Buatan
Cahaya buatan yaitu cahaya yang menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti lampu minyak tanah, listrik, api dan lain lain. Kualitas dari cahaya buatan tergantung dari terangnya sumber cahaya (brightness of the source). Pencahayaan buatan bisa terjadi dengan 3 cara, yaitu direct, indirect, semi direct atau general diffusing. Secara umum pengukuran pencahayaan terhadap sinar matahari adalah dengan menggunakan lux meter, yang diukur ditengah-tengah ruangan, pada tempat setinggi < 84 cm dari lantai, dengan ketentuan tidak memenuhi syarat kesehatan bila < 50 lux atau > 300 lux, dan memenuhi syarat kesehatan bila pencahayaan rumah antara 50-300 lux. Cahaya matahari mempunyai sifat membunuh bakteri, terutama kuman mycobacterium tuberculosis. Kuman tuberkulosa hanya dapat mati oleh sinar matahari langsung.(Depkes RI,2002) Oleh sebab itu, rumah dengan standar pencahayaan yang buruk sangat berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis. Kuman tuberculosis dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab dan gelap tanpa sinar matahari sampai bertahun-tahun lamanua, dan mati bila terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol dan panas api, kuman mycobacterium tuberculosa akan mati dalam waktu 2 jam oleh sinar matahari; oleh tinctura iodii selama 5 menit dan juga oleh ethanol 80% dalam waktu 2-10 menit serta mati oleh fenol 5% dalam waktu 24 jam, rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai resiko menderita tuberkulosis 3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar matahari.
5) Kelembaban
Kelembaban udara adalah prosentase jumlah kandungan air dalam udara. Kelembaban terdiri dari 2 jenis, yaitu 1) Kelembaban absolut, yaitu berat uap air per unit volume udara; 2) Kelembaban nisbi (relatif), yaitu banyaknya uap air dalam udara pada suatu temperatur terhadap banyaknya uap air pada saat udara jenuh dengan uap air pada temperatur tersebut. Secara umum penilaian kelembaban dalam rumah dengan menggunakan hygrometer. Menurut indikator pengawasan perumahan, kelembaban udara yang memenuhi syarat kesehatan dalam rumah adalah 40-70 % dan kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 40 % atau > 70 % (Depkes RI, 1989). Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Rumah yang lembab merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme, antara lain bakteri, spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara. Selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme. Bakteri mycobacterium tuberculosis seperti halnya bakteri lain, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban tinggi karena air membentuk lebih dari 80 % volume sel bakteri dan merupakan hal yang essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri (Gould & Brooker, 2003). Selain itu kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk bakteri tuberkulosis. Mulyadi (2003) meneliti di Kota Bogor, penghuni rumah yang mempunyai kelembaban ruang keluarga lebih besar dari 70% berisiko terkena penyakit tuberkulosis 10,7 kali dibanding penduduk yang tinggal pada perumahan yang memiliki kelembaban lebih kecil atau sama dengan 70%. Kelembaban merupakan sarana yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme, termasuk kuman tuberkulosis sehingga viabilitas lebih lama. Seperti telah dikemukakan, kelembaban berhubungan dengan kepadatan dan ventilasi. Topografi menurut penelitian juga berpengaruh terhadap kelembaban, wilayah yang lebuh tinggi cenderung memiliki kelembaban lebih rendah.
6) Ketinggian
Ketinggian secara umum mempengaruhi kelembaban dan suhu lingkungan. Setiap kenaikan 100 meter, selisih suhu udara dengan permukaan laut sebesar 0,5 oC. ketinggian berkaitan dengan kelembaban juga dengan kerapatan oksigen. Kuman mycobacterium tuberculosis sangat aerob, sehingga diperkirakan kerapatan oksigen di pegunungan akan mempengaruhi viabilitas kuman tuberkulosis, (Olander. 2003).







BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Ada hubungan antara karakteristik lingkungan fisik rumah (kepadatan penghuni, ventilasi,jendela, kelembaban, suhu, pencahayaan, jenis lantai rumah) dengan kejadian tuberkulosis paru di Kabupaten Pekalongan. Juga ada hubungan antara karakteristik kependudukan (jenis kelamin, umur, status gizi, status imunisasi, kondisi sosial ekonomi) dengan kejadian tuberkulosis paru di Kabupaten Pekalongan.
B. SARAN
Kepada pemerintah dimohon menanggapi serius berbagai kasus tuberkulosis di daerah terkena dengan sebaik-baiknya, dan seluruh masyarakat Indonesia agar senantiasa menjalankan PHBS atau perilaku hidup bersih dan sehat agar senantiasa terhindar dari berbagai macam penyakit secara umum dan tuberkulosis secara khusus.





 Lampiran:



Penderita TBC di Bojonegoro Meningkat
Minggu, 27 Maret 2011 23:01 wib

Ilustrasi penderita TBC menunggu di rumah sakit di Makassar, Sulsel. (Foto: Reuters)
BOJONEGORO - Penyebaran penyakit tuberkulosis (TBC) perlu diwaspadai. TBC berawal dari kuman dan cepat menyebar kepada siapa saja yang kondisinya tidak sehat.

Dalam sehari, pasien TBC yang masuk instalasi rawat jalan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Sosodoro Djatikoesoemo, Bojonegoro, mencapai 40 sampai 60 pasien.

“Dari jumlah itu, pasien TBC yang menjalani rawat inap sekitar empat sampai delapan orang,” ujar dr Budi Sutedja, dokter spesialis TBC di RSUD dr Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro.

Budi menuturkan, penyakit TBC ini bahaya tetapi tidak termasuk penyakit yang mematikan. Bahayanya, penyakit ini cepat dan mudah menular. Serta termasuk penyakit dalam yang menyerang paru-paru dan tulang. “Orang yang terkena TBC ini juga rawan terjangkit HIV,” ujarnya.

Meski begitu, penyakit yang berawal dari kuman ini dapat disembuhkan. Meski pasien harus komitmen mengikuti petunjuk dokter. Penderita TBC dapat sembuh bila berobat secara rutin baik rawat inap maupun rawat jalan sampai 6 bulan.

Dalam rentang 6 bulan itu, penderita harus tetap berobat meskipun mulai membaik. “Banyak yang tidak sembuh, karena berhenti di tengah jalan saat berobat,” ujar Budi seraya menambahkan sekira 98 persen penderita TBC bisa sembuh kalau berobat rutin hingga enam bulan tersebut.

TBC bermula dari kuman yang berasal dari dahak. Selanjutnya kuman menyerang seseorang yang memiliki kondisi kurang sehat.

Kendati tidak dapat merinci, penderita TBC di Bojonegoro bervariasi. Sejak 2009 sampai 2011, Budi mengaku penderita TBC terus naik, terutama 3 bulan di 2011 ini.

Sementara itu Humas RSUD dr Sosodoro Djatikoesoemo, Thomas Djaja mengungkapkan, pihaknya kekurangan dokter spesialis paru-paru. Saat ini hanya Budi Sutedja satu-satunya dokter di RSUD. “Padahal seharusnya RSUD tipe B setidaknya memiliki dua dokter spesialis paru,” tandasnya.

(Muhammad Roqib/Koran SI/ton)




DAFTAR PUSTAKA

. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah, 2000. Faktor Risiko yang mempengaruhi kesembuhan Pengobatan Penderita TB Paru di Jawa Tengah, Laporan hasil penelitian (tahap II), Dinkes Prop. Jawa tengah, Semarang 2000
Dinas Kesehatan Kabupaten Pekalongan, Laporan program penanggulangan TBC, Pekalongan, 2008
Dinas Kesehatan Kabupaten Pekalongan, Profil Kesehatan Kabupaten Pekalongan, Pekalongan, 2008
NewsMedical.Net, Apakah Itu Tuberkulosis?, http://news-medical.net/health/What-Is-Tuberculosis-(Indonesian).aspx diakses pada 21 Oktober 2012 pukul 20:51 WIB
Okezone.com, 2011, Penderita TBC di Bojonegoro Meningkat, http://news.okezone.com/read/2011/03/27/340/439388/penderita-tbc-di-bojonegoro-meningkat/ diakses pada 21 Oktober 2012 pukul 20:03 WIB
World Health Organization, Dalam; Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Jakarta, 2005



0 komentar :

Posting Komentar