Irwan Nur Rizqi, Wilda Intan Sari & Muhammad Fahrian Aris Muzakki
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu
tentang parasit telah lama menunjukan peran pentingnya dalam bidang kedokteran
hewan dan manusia namun masih banyak penyakit baik pada hewan dan manusia yang
merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan
terjadinya urbanisasi yang tidak diimbangi sarana dan prasarana, telah menambah
banyaknya dearah kumuh di perkotaan. Makin berkurangnya air bersih, pencemaran
air dan tanah menciptakan kondisi lingkungan fisik yang memungkinkan perkembangan
vektor dan sumber infeksi termasuk oleh penyakit parasitik.
Penyakit
infeksi yang disebabkan oleh cacing masih tinggi prevelansinya terutama pada
penduduk di daerah tropik seperti di Indonesia, dan merupakan masalah yang
cukup besar bagi bidang kesehatan masyarakat. Hal ini dikarenakan Indonesia
berada dalam kondisi geografis dengan temperatur dan kelembaban yang sesuai,
sehingga kehidupan cacing ditunjang oleh proses daur hidup dan cara
penularannya.
Feses
adalah sisa hasil pencernaan dan absorbsi dari makanan yang kita makan yang
dikeluarkan lewat anus dari saluran cerna.Jumlah normal produksi 100 – 200 gram
/ hari. Terdiri dari air, makanan tidak tercerna, sel epitel, debris, celulosa,
bakteri dan bahan patologis, Jenis makanan serta gerak peristaltik mempengaruhi
bentuk, jumlah maupun konsistensinya dengan frekuensi defekasi normal 3x
per-hari sampai 3x per-minggu.
Pemeriksaan
feses ( tinja ) adalah salah satu pemeriksaan laboratorium yang telah lama
dikenal untuk membantu klinisi menegakkan diagnosis suatu penyakit. Meskipun
saat ini telah berkembang berbagai pemeriksaan laboratorium yang modern , dalam
beberapa kasus pemeriksaan feses masih diperlukan dan tidak dapat digantikan
oleh pemeriksaan lain. Pengetahuan mengenai berbagai macam penyakit yang
memerlukan pemeriksaan feses , cara pengumpulan sampel yang benar serta
pemeriksan dan interpretasi yang benar akan menentukan ketepatan diagnosis yang
dilakukan oleh klinisi.
Pemeriksaan
feses di maksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing ataupun larva
infektif. Pemeriksaan ini juga dimaksudkan untuk mendiagnosa tingkat infeksi
cacing parasit usus pada orang yang di periksa fesesnya (Gandahusada.dkk,
2000). Pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan metode kualitatif dan
kuantitatif. Secara kualitatif dilakukan dengan metode natif, metode apung,
metode harada mori, dan Metode kato. Metode ini digunakan untuk mengetahui
jenis parasit usus, sedangkan secara kuantitatif dilakukan dengan metode kato
untuk menentukan jumlah cacing yang ada di dalam usus. Prinsip dasar untuk
diagnosis infeksi parasit adalah riwayat yang cermat dari pasien. Teknik
diagnostik merupakan salah satu aspek yang penting untuk mengetahui adanya
infeksi penyakit cacing, yang dapat ditegakkan dengan cara melacak dan mengenal
stadium parasit yang ditemukan.
Sebagian
besar infeksi dengan parasit berlangsung tanpa gejala atau menimbulkan
gejala ringan. Oleh sebab itu pemeriksaan laboratorium sangat dibutuhkan karena
diagnosis yang hanya berdasarkan pada gejalaklinik kurang dapat dipastikan.
Misalnya, infeksi yang disebabkan oleh cacing gelang (Ascaris lumbricoides). Infeksi ini lebih bamyak ditemukan pada
anak-anak yangsering bermain di tanah yang telah terkontaminasi, sehingga
mereka lebih mudahterinfeksi oleh cacain-cacing tersebut. Biasanya hal ini
terjadi pada daerah di mana penduduknya sering membuang tinja sembarangan
sehingga lebih mudah terjadi penularan. Pengalaman dalam hal membedakan
sifat berbagai spesies parasit, kista, telur, larva, dan juga pengetahuan
tentang bentuk pseudoparasit dan artefak yang dikira parasit, sangat
dibutuhkan dalam pengidentifikasian suatu parasit.
B.
Tujuan
1.
Mengetahui pemeriksaan feses kualitatif
dengan metode apung.
2.
Mengetahui adanya telur parasit dalam
sampel feses
BAB
II
METODE PENGAMATAN
METODE PENGAMATAN
A. Macam-macam
Pemeriksaan telur cacing pada feses, terdapat dua
macam cara pemeriksaan, yaitu secara kualitatif dan kuantitatif.
1.
Pemeriksaan
secara Kualitatif
I.1. Metode Natif (Direct slide)
Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat
dan baik untuk infeksi berat, tetapi untuk infeksi yang ringan sulit ditemukan
telur-telurnya. Cara pemeriksaan ini menggunakan larutan NaCl fisiologis (0,9%)
atau eosin 2%. Penggunaa eosin 2% dimaksudkan untuk lebih jelas membedakan
telur-telur cacing dengan kotoran disekitarnya.
I.2. Metode Apung (Flotation method)
Metode ini digunakan larutan NaCl jenuh atau larutan
gula atau larutan gula jenuh yang didasarkan atas BD (Berat Jenis) telur
sehingga telur akan mengapung dan mudah diamati. Metode ini digunakan untuk
pemeriksaan feses yang mengandung sedikit telur. Cara kerjanya didasarkan atas
berat jenis larutan yang digunakan, sehingga telur-telur terapung dipermukaan
dan juga untuk memisahkan partikel-partikel yang besar yang terdapat dalam
tinja. Pemeriksaan ini hanya berhasil untuk telur-telur Nematoda,
Schistostoma, Dibothriosephalus, telur yang berpori-pori dari famili Taenidae,
telur-telur Achantocephala ataupun telur Ascaris
yang infertil.
I.3. Metode Harada Mori
Metode ini digunakan untuk menentukan dan
mengidentifikasi larva cacing Ancylostoma Duodenale, Necator Americanus,
Srongyloides Stercolaris dan Trichostronngilus yang didapatkan dari
feses yang diperiksa. Teknik ini memungkinkan telur cacing dapat berkembang
menjadi larva infektif pada kertas saring basah selama kurang lebih 7 hari,
kemudian larva ini akan ditemukan didalam air yang terdapat pada ujung kantong
plastik.
I.4. Metode Selotip
Metode
ini digunakan untuk mengetahui
adanya telur cacing Enterobius
vermicularis pada anak yang berumur 1 – 10 tahun.
2.
Pemeriksaan secara Kuantitatif
2.1. Metode Kato
Teknik
sediaan tebal (cellaphane covered thick smear tecnique) atau disebut teknik
Kato. Pengganti kaca tutup seperti teknik digunakan sepotong “cellahane tape”.
Teknik ini lebih banyak telur cacing dapat diperiksa sebab digunakan lebih
banyak tinja. Teknik ini dianjurkan untuk Pemeriksaan secara massal karena
lebih sederhana dan murah. Morfologi telur cacing cukup jelas untuk membuat
diagnosa.
B. Maksud dan Tujuan
1.
Metode Natif
Maksud : Menemukan telur cacing parasit pada feses yang
diperiksa.
Tujuan : Mengetahui adanya infeksi cacing parasit pada
seseorang yang diperiksa fesesnya.
2.
Metode Apung (Floatation
method)
Maksud : Mengetahui adanya telur cacing parasit usus untuk
infeksi ringan.
Tujuan : Mengetahui adanya infeksi cacing parasit usus pada
seseorang yang diperiksa fesesnya.
3.
Metode Harada Mori
Maksud : Mengidentifikasi larva cacing Ancylostoma
Duodenale, Necator Americanus, Srongyloides Stercolaris dan Trichostronngilus
spatau mencari larva cacing-cacing parasit usus yang menetas diluar tubuh
hospes.
Tujuan : Mengetahui adanya infeksi cacing tambang.
4.
Metode
Selotip (Cellotape method)
Maksud : Mengetahui
adanya telur cacing Enterobius
vermicularis pada anak yang berumur 1 – 10 tahun.
Tujuan : Mengetahui presentase anak yang terinfeksi E. vermicularis.
5.
Metode Kato
Maksud : Menemukan adanya telur cacing parasit dan menghitung
jumlah telur.
Tujuan : Mengetahui adanya infeksi cacing parasit dan untuk
mengetahui berat ringannya infeksi cacing parasit usus
C. Dasar Teori
Kecacingan merupakan salah satu mikroorgisme penyebab
penyakit dari kelompok helminth (cacing), membesar dan hidup dalam usus halus
manusia, Cacing ini terutama tumbuh dan berkembang pada penduduk di daerah yang
beriklim panas dan lembab dengan sanitasi yang buruk. Terutamanya pada
anak-anak. Cacing-cacing tersebut adalah cacing gelang, cacing cambuk dan
cacing tambang dan cacing pita.
D. Alat dan Bahan
Alat:
1.
Penyaring
teh
2.
Tabung
reaksi
3.
Rak tabung
4.
Gelas
ukur
5.
Batang
pengaduk
(Lidi)
6.
Object glass
7.
Cover
glass
8.
Mikroskop
9.
Beaker glass
Bahan:
1.
Sampel
tinja sebanyak 10 gram atau sebesar biji kacang
2.
NaCl
jenuh
33%
E. Cara Kerja
Praktikum
kali ini menggunakan metode kualitatif yaitu metode apung tanpa sentrifugasi,
adapun cara kerja pada praktikum kali ini adalah sebagai berikut:
1.
Siapkan alat dan bahan
2.
Tuangkan
NaCl 33% jenuh kedalam beaker glass sebanyak 100 ml.
3.
Campurkan
100 ml NaCl
jenuh dengan 10 gram tinja kemudian diaduk sehingga larut.
4.
Selanjutnya
disaring dengan menggunakan penyaring teh.
5.
Masukkan
campuran tinja dan larutan NaCl yang telah disaring tersebut ke dalam tabung
reaksi hingga penuh dan terlihat cembung.
6.
Didiamkan
selama 5-10 menit kemudian ditutup dengan cover glass, lalu letakkan cover glass pada obyek glass.
7.
Selanjutnya
letakkan preparat pada meja spesimen kemudian amati
menggunakan mikroskop.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
- Hasil
No.
|
Nama
|
Umur
|
Alamat
|
Hasil
|
Keterangan
|
1.
|
Diok
|
8,5 tahun
|
Desa Ciberem Rt 01/02, Sumbang
|
Positif
|
Ditemukan telur cacing Ascaris lumbricoides
|
2.
|
Nesa
|
8
tahun
|
Desa
Ciberem, Kec. Sumbang
|
Negatif
|
Tidak ditemukan telur, kista dan larva pada tinja
|
3.
|
Nurdin
|
9
tahun
|
Desa
Ciberem, Kec. Sumbang
|
Negatif
|
Tidak ditemukan telur, kista dan larva pada tinja
|
B. Pembahasan
B.1.
Percobaan 1
Dari
percobaan yang kami lakukan dengan menggunakan metode Apung seperti pada tabel
diatas, dapat diketahui bahwa telur Ascaris
lumbricoides diperoleh hasil pemeriksaan positif, sedangkan pada
telur selain Ascaris lumbricoides
diperoleh hasil negatif sehingga anak tersebut menderita Ascariasis.
Gambar
Telur Ascaris lumbricoides
Ascaris
lumbricoides adalah
cacing parasit usus yang ukurannya paling besar. Biasa disebut dengan cacing
gelang yang hidup di vili duodenum dan jejunum. Jika di dalam telur cacing
dalam feses, berarti ada cacing dewasa yang hidup di usus Diok. Jumlah telur yang ditemuakan pada spesimen
didapatkan sekitar 8 butir dalam beberapa lapang pandang, berarti Diok berada pada stadium infeksi sangat
ringan. Menurut pemaparan
ibu dari Diok,
gejala yang dirasakan Diok diantaranya yaitu kurang nafsu makan, sehingga jarang
buang air besar. Walaupun masih dalam
tahap ringan Diok
harus segera mendapatkan pengobatan yang tepat agar infeksi tidak berlanjut
pada tahap sedang.
Pengobatan yang bisa diberikan untuk penderita yaitu
dengan obat piperasin, pirantel pamoat, albendazol dan mebendazol. Pengobatan
dari Ascaris lumbricoides ini termasuk pada obat yang mudah diterima masyarakat
karena pemakaiannya sederhana, efek sampingnya minim dan harganya termasuk
murah. Jika tidak segera diobati cacing bisa lebih banyak bereproduksi dan telur
cacing pada feses dapat mencemari lingkungan.
Infeksi cacing Ascaris
lumbricoides pada Diok ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
meliputi kebersihan rumah,
lantai yang masih terbuat dari tanah dapat menjadi tempat transmisi dari telur
cacing tersebut. Tanahnya lembab dan sedikit basah sehingga memungkinkan telur
dapat tumbuh dengan baik. Kurangnya frekuensi cuci tangan sebelum dan sesudah
makan atau buang air besar. Diok juga suka bermain tanah di sekitar rumah semisal
saat bermain kelereng, sehingga
sangat memungkinkan telur cacing tertelan saat makan makanan
ringan tanpa mencuci tangan
Infeksi oleh parasit berlangsung tanpa gejala atau
menimbulkan gejala ringan. Diagnosis yang berdasarkan gejala klinik saja kurang
dapat dipastikkan, segingga harus dengan bantuan pemeriksaan labolatorium.
Bahan yang akan diperiksa tergantung dari jenis parasit, untuk cacing atau
protozoa usus maka bahan yang diperiksa adalah tinja. Identifikasi terhadap
kebanyakkan telur cacing dapat dilakukan dalam bebrapa hari setelah tinja
dikeluarkan.
Oleh karena itu Untuk dapat mengatasi infeksi cacing
secara tuntas, maka upaya pencegahan dan terapi merupakan usaha yang sangat
bijaksana dalam memutus siklus penyebaran infeksinya. Pemberian obat anti
cacing secara berkala setiap 6 bulan dapat pula dikerjakan. Menjaga kebersihan
diri (Ian lingkungan serta sumber bahan pangan adalah merupakan sebagian dari
usaha pencegahan untuk menghindari dari infeksi cacing. Memasyarakatkan
cara-cara hidup sehat, terutama pada anak-anak usia sekolah dasar, dimana usia
ini merupakan usia yang sangat peka untuk menanamkan dan memperkenalakan
kebiasaan-kebiasaan baru.
Kebiasaan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan secara
berkala seperti
:
·
Budayakan
kebiasaan dan perilaku pada diri sendiri, anak dan keluarga untuk mencuci
tangan sebelum makan. Kebiasaan akan terpupuk dengan baik apabila orangtua
meneladani. Dengan mencuci tangan makan akan mengeliminir masuknya telur cacing
ke mulut sebagai jalan masuk pertama ke tempat berkembang biak cacing di perut
kita.
·
Pakailah
alas kaki jika menginjak tanah. Jenis cacing ada macamnya. Cara masuknya pun
beragam macam, salah satunya adalah cacing tambang (Necator americanus ataupun Ancylostoma duodenale). Kedua jenis cacing ini masuk melalui larva cacing
yang menembus kulit di kaki, yang kemudian jalan-jalan sampai ke usus melalui
trayek saluran getah bening. Kejadian ini sering disebut sebagai Cutaneus Larva
Migran.
·
Gunting
dan bersihkan kuku secara teratur. Kadang telur cacing yang terselip di antara
kuku Anda dan selamat masuk ke usus Anda dan mendirikan koloni di sana.
·
Jangan
buang air besar sembarangan dan cuci tangan saat membasuh. Setiap kotoran
baiknya dikelola dengan baik, termasuk kotoran manusia. Di negara kita masih
banyak warga yang memanfaatkan sungai untuk buang hajat. Dengan perilaku ini
maka kotoran-kotoran ini akan liar tidak terjaga, sehingga mencemari
lingkungannya. Dan, jika lingkungan sudah cemar, penularan sering tidak pandang
bulu. Orang yang sudah menjaga diri sebersih mungkin sekalipun masih dapat
dihinggapi parasit cacing ini.
·
Bertanam
atau Berkebunlah dengan baik. Ambillah air yang masih baik untuk menyiram
tanaman. Agar air ini senantiasa baik maka usahakan lingkungan sebaik mungkin.
Menjaga alam ini termasuk bagian dalam merawat kesehatan.
·
Pedulilah
dengan lingkungan, maka akan dapat memanfaatkan hasil yang baik. Jika air yang
digunakan terkontaminasi dengan tinja manusia, bukan tidak mungkin telur cacing
bertahan pada kelopak-kelopak tanaman yang ditanam dan terbawa hingga ke meja
makan.
·
Cucilah
sayur dengan baik sebelum diolah. Cucilah sayur di bawah air yang mengalir.
·
Hati-hatilah
makan makanan mentah atau setengah matang, terutama di daerah yang sanitasinya
buruk.
·
Buanglah
kotoran hewan hewan peliharaan kesayangan Anda seperti kucing atau anjing pada
tempat pembuangan khusus.
·
Pencegahan
dengan meminum obat anti cacing setiap 6 bulan, terutama bagi Anda yang risiko
tinggi terkena infestasi cacing ini, seperti petani, anak-anak yang sering
bermain pasir, pekerja kebun, dan pekerja tambang (orang-orang yang terlalu
sering berhubungan dengan tanah.
Jika penyakit kecacingan ini sudah menjangkit
sebaiknya dilakukan pengobatan dengan cara penanganan untuk
mengatasi infeksi cacing dengan obat-obatan merupakan pilihan yang dianjurkan.
Obat anti cacing Golongan Pirantel Pamoat (Combantrin dan lain-lain) merupakan
anti cacing yang efektif untuk mengatasi sebagian besar infeksi yang disebabkan
parasit cacing. Intervensi
berupa pemberian obat cacing ( obat pirantel pamoat 10 mg / kg BB dan albendazole
10 mg/kg BB ) dosis tunggal diberikan tiap 6 bulan pada anak untuk mengurangi
angka kejadian infeksi ini pada suatu daerah .Paduan yang serasi antara upaya
prevensi dan terapi akan memberikan tingkat keberhasilan yang memuaskan,
sehingga infeksi cacing secara perlahan dapat diatasi secara maksimal, tuntas
dan paripurna.
B.2.
Percobaan 2
Percobaan
kedua ini setelah diamati dari berbagai lapang pandang, pada sampel feses tidak
ditemukan adanya telur cacing, atau dapat dikatakan bahwa Nesa tidak terinfeksi
cacing parasit atau adanya kemungkinan terjadi kesalahan dalam Praktikum
Pemeriksaan Feses ini.
Kesalahan
yang mungkin terjadi dalam Praktikum kali ini adalah :
·
Kesalahan Praktikan, yaitu kesalahan
pada saat melakukan praktikum. Kesalahan-kesalahan tersebut dapat berupa
kesalahan dalam melakukan langkah-langkah atau cara kerja Praktikum, kesalahan
menggunakan alat-alat atau ketidakcermatan praktikan dalam mengamati preparat
feses sehingga tidak dapat menemukan adanya yelur cacing dalam preparat tersebut.
·
Kesalahan pada pengambuilan sampel
feses, yaitu kesalahan manusia/hospes, apakah diambil pada tempat
pembuangan/kloset atau tidak langsung dari perianal, apakah tercampur dengan
urin atau yang lainnya.
·
Kesalahan penyimpanan feses, yaitu
kesalahan pada tempat yang digunakan sebagai tempat penyimpanan feses. Baik
dari faktor suhu maupun kondisi ruangan yang tidak steril. Selain itu juga
waktu antara pengambilan sampel feses dengan waktu dilakukannya Pemeriksaan
yang terlalu lama juga dapat mempengaruhi hasil dari Pemeriksaan atau Praktikum
ini.
Adapun
hambatan-hambatan yang ditemui selama melakukan Praktikum Pemeriksaan feses
kali ini adalah :
- Keterbatasan alat-alat praktikum, yaitu jumlah alat yang digunakan untuk praktikum yang kurang memadai, sehingga kelompok kami hanya melakukan Pemeriksaan dengan satu metode yaitu metode apung tanpa sentrifugasi sedangkan kelompok yang lain melakukan dengan dua metode yaitu metode apung dengan sentrifugasi dan tanpa sentrifugasi.
- Karena bahan yang digunakan pada Praktikum adalah feses, maka Praktikan harus menahan bau yang menyengat yang ditimbulkan dari feses tersebut.
B.3.
Percobaan 3
Percobaan ketiga setelah diamati
dari berbagai lapang pandang, diperoleh hasil negatif (tidak ditemukan telur
cacing). Hasil negatif
pada metode yang dilaksanakan dapat disebabkan antara lain :
- Sampel tinja yang diperoleh dari orang yang sehat (tidak terinfeksi cacing parasit).
- Kurang ketelitian dan kecerobohan praktikan dalam melakukan praktikum. Misalnya pada metode apung, saat larutan feses didiamkan pada tabung reaksi, tabung reaksi goyang sehingga telur yang sudah terapung mengendap lagi.
- Kurangnya pemahaman praktikan pada bentuk morfologi telur maupun larva cacing parasit.
- Praktikan kurang paham tentang urutan kerja pada masing-masing metode.
- Pada saat diambil fesesnya, cacing belum bertelur sehingga tidak ditemukan telur pada feses.
Identifikasi
parasit tergantung dari persiapan bahan yang baik untuk memeriksa dengan
mikroskop, baik dalam keadaan hidup maupun sebagai sediaan yang telah dipulas.
Hal yang menguntungkan adalah untuk mengetahui kira-kira ukuran dari
bermacam-macam parasit tetapi perbedaan individual tidak memungkinkan
membedakan spesies hanya dengan melihat besarnya. Tinja sebagai bahan pemeriksa
harus dikumpulkan didalam suatu tempat yang bersih dan kering bebas dari urine.
Identifikasi terhadap kebanyakan telur cacing dapat dilakukan dalam beberapa
hari setelah tinja dikeluarkan (Kurt, 1999).
IV. PENUTUP
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Percobaan
pertama yaitu sampel feses dari Diok positif terinfeksi cacing parasit usus Ascaris lumbricoides berdasarkan pengamatan morfologi telur cacing
dari sampel feses segar. Pemeriksaan tersbut dilakukan dengan cara metode apung (flotation metodhe).
Percobaan
kedua dan ketiga yaitu masing-masing dari sampel feses Nesa dan Nurdin
diperoleh hasil negatif terinfeksi cacing.
Metode
apung (Floating method) adalah metode dengan menggunakan larutan NaCl jenuh atau larutan gula atau larutan
gula jenuh yang didasarkan atas BD (Berat Jenis) telur sehingga telur akan
mengapung dan mudah diamati. Metode ini digunakan untuk pemeriksaan feses yang
mengandung sedikit telur.
Kelebihan dari metode ini adalah baik untuk semua
jenis telur baik untuk infeksi berat dan ringan. Telur yang ditemukan terpisah
dari kotoran.
Kekurangan dari metode ini adalah penggunaan feses
banyak dan memerlukan waktu yang lama sehingga perlu ketelitian tinggi agar
telur di permukaan larutan tidak turun lagi.
B.
Saran
Semua anggota keluarga hendaknya menerapkan perilaku
hidup bersih dan sehat dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, diantaranya
sebagai berikut : Membuat jamban keluarga, meningkatkan higiene perseorangan, tidak buang air besar di sembarang
tempat, tidak menggunakan tinja sebagai pupuk, perbaiki sanitasi lingkungan dan
rajin mencuci tangan.
Bagi
para praktikan supaya lebih memperhatikan prosedur penelitian yang telah
ditetapkan. Selain itu, para praktikan di tekankan untuk menjaga kebersihan
agar tak ada penularan lanjutan dari telur yang ditemukan.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, H. W. 1969. Dasar Parasitologi Klinis. Gramedia,
Jakarta.
Entjang,
I. 2003. Mikrobiologi dan Parasitologi
untuk Akademi Keperawatan dan Sekolah Menengah
Tenaga Kesehatan yang Sederajat. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Gandahusada,
S.W. Pribadi dan D.I. Heryy. 2000. Parasitologi
Kedokteran. Fakultas kedokteran UI, Jakarta.
Hardidjaja,
Pinardi & TM.
1994. Penuntun Laboratorium
Parasitologi Kedokteran. FKUI, Jakarta.
Kadarsan,
S. Binatang Parasit. Lembaga Biologi
Nasional-LIPI, Bogor.
Kurt.
1999. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam
Volume . Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Neva,
F.A. and H.W.Brown. 1994. Basic Clinical
Parasitology, Appleton and Lange, New York,
Noble,
R.N. 1961. An Illustrated Laboratory
Manual of parasitology, Burgess Publishing, Minnesota.
Soejoto
dan Soebari. 1996. Parasitologi Medik Jilid 3 Protozoologi dan Helmintologi.
EGC, Solo.
Tierney,
L. M., S. J. McPhee, M. A. Papadakis. 2002. Current
Medical Diagnosis
and Treatment,Mc Graw Hill Company, New York.
0 komentar :
Posting Komentar